oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Dalam maqashid syar’iyah dijelaskan bahwa maksud dari ketentuan syara’ adalah dalam rangka menjaga lima hal mendasar dalam kehidupan manusia (hak asasi manusia) yaitu antara lain :
1. memelihara agama (حفظ الدين),
2. menjaga jiwa individu (حفظ النفس),
3. memelihara akal (حفظ العقل),
4. memelihara keturunan (حفظ النسل) dan
5. menjaga harta (حفظ المال);
Kelima hal tersebut saling berkaitan sekalipun tentu menjaga keyakinan agama tentu lebih diutamakan daripada yang lainnya. Sebab nilai seseorang adalah sebab keyakinannya. Artinya seseorang akan bernilai dan bermakna dalam pandangan Islam sebab keimanannya. Seseorang yang tadinya memiliki derajat rendah dalam pandangan manusia akan berubah menjadi mulia dan terhormat disaat dia mendeklarasikan keimanannya. Itulah yang terjadi pada diri sahabat Bilal bin Rabah yang awalnya hanya seorang budak lalu berubah menjadi mulia setelah menyatakan diri sebagai muslim. Sebab dengan keimanan maka seseorang terjaga dirinya, hartanya dan kehormatannya. Sebagaimana Rasulullah bersabda :
لاَ تَحَاسَدوا، وَلاَتَنَاجَشوا، وَلاَ تَبَاغَضوا، وَلاَ تَدَابَروا، وَلاَ يَبِع بَعضُكُم عَلَى بَيعِ بَعضٍ، وَكونوا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، المُسلِمُ أَخو المُسلم، لاَ يَظلِمهُ، وَلاَ يَخذُلُهُ، وَلا يكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقوَى هَاهُنَا – وَيُشيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَراتٍ – بِحَسْبِ امرىء مِن الشَّرأَن يَحْقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ، كُلُّ المُسِلمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَام دَمُهُ وَمَالُه وَعِرضُه.
”Janganlah kalian saling hasad, saling berbuat najasy (menawar barang dagangan lebih tinggi untuk mengecoh pembeli lain), saling membenci, saling membelakangi, dan janganlah salah seorang di antara kalian menjual barang di atas jual beli oleh orang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya (tidak peduli padanya), berdusta kepadanya, meremehkannya. Taqwa tempatnya di sini, -beliau menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali-. Cukuplah seseorang itu dikatakan telah berbuat kejelekan manakala merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain itu haram darahnya, harta, dan kehormatannya.” (HR. Imam Muslim)
Keimanan menjadi tolok ukur nilai kemuliaan dan harga diri seorang muslim sehingga syariat agama sangat menjaga keimanan agama seorang muslim.
Selanjutnya yang didahulukan dalam perspektif Islam dalam sebuah pengambilan keputusan hukum adalah menjaga jiwa (حفظ النفس) haruslah lebih di dahulukan dari pada yang lain terlebih hanya sekedar alasan kepentingan ekonomi. Sekalipun memang aturan syariat dalam Islam juga dalam rangka menjaga harta (حفظ المال) namun apabila dihadapkan dengan kepentingan penjagaan jiwa maka tentu hal tersebut lebih didahulukan daripada kepentingan hanya sebatas menjaga harta atau potensi ekonomi. Hal ini tentu berbeda dengan konsep kapitalisme dalam memandang realitas sosial. Mereka tentu akan cenderung mendahulukan kepentingan materi dibandingkan dengan jiwa atau terlebih keimanan. Karena bagi kalangan yang tunduk atas ide kapitalisme akan menganggap remeh dan sepele nilai sebuah jiwa dan keimanan. Sebab bagi mereka pertimbangan ekonomi adalah hal utama yang melebihi segalanya. Demikianlah perspektif Islam dalam memuliakan jiwa. Bahkan nilai satu jiwa sama dengan ribuan jiwa lainnya. Sehingga membunuh satu jiwa dianggap sama membunuh manusia keseluruhan.
Dalam menghadapi wabah pandemi covid-19 ini, Islam memberikan sebuah arahan yang jelas yaitu mengutamakan jiwa manusia dengan cara menyelamatkannya. Sehingga Islam memberikan solusi dengan cara lockdown dan social distancing. Konsep social distancing telah dikenalkan oleh Islam jauh sebelum dunia modern mengenalnya. Islam mengenalkan konsep ini bersamaan sebagai sebuah paket solusi dalam mengatasi wabah yaitu memutus jaringan penyebarannya dengan konsep lockdown dan social distancing.
Konsep social distancing ini pertama kali diperkenalkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Pada saat itu negeri Syam, tepatnya di daerah Amwas sedang dilanda wabah penyakit Tha’un yang merenggut banyak korban. Hingga Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkeinginan mengunjungi daerah tersebut. Namun oleh gubernur Syam saat itu, yaitu Abu Ubaidah Ibnu Jarrah memberi saran untuk tidak memasuki wilayah Syam karena sedang ada wabah dan kota itu sedang di lockdown. Sehingga Amirul Mukminin kembali ke ibukota di Madinah. Sementara Abu Ubaidah ibnu Jarrah tetap di Syam sekalipun sebenarnya diminta oleh Amirul Mukminin untuk meninggalkan Syam. Namun tidak mungkin bagi beliaunya meninggalkan rakyatnya dalam suasana kesusahan saat itu. Hingga akhirnya beliau meninggal di kota Syam karena wabah tha’un tersebut.
Selanjutnya kepemimpinan diamanahkan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal. Namun tidak berlangsung lama, beliau dan keluarganya juga meninggal terkena dampak wabah tersebut. Sehingga kepemimpinan diberikan kepada sahabat Amr bin Ash untuk menyelesaikan wabah tah’un di negeri Syam. Berkat kecerdasan sahabat Amr bin Ash menyerukan kepada ummat untuk berpencar ke gunung-gunung guna memutus mata rantai penyebaran wabah pada saat itu. Sebagaimana dikatakan oleh Amr bin Ash pada masyarakat :
أيها الناس! إن هذا الوجع إذا وقع فإنما يشتعل اشتعال النار فتحصّنوا منه في الجبال
“Wahai manusia, sesungguhnya penyakit ini apabila menimpa maka ia akan bekerja bagaikan bara api maka bentengilah dari penyakit ini dengan berlari ke gunung-gunung.” (Diriwayatkan dari Imam Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Badzal Maa’un)
Konsep mengisolasi diri dengan cara berpisah dan menjaga jarak interaksi sebagai upaya memutus jaring penyebaran wabah, sebagaimana yang diinstruksikan oleh Amr bin Ash terhadap rakyatnya, pada masa sekarang konsep itu dikenal dengan istilah social distancing atau physical distancing.
Social distancing adalah jarak sosial dalam interaksi sosial antar masyarakat. Dengan kata lain seseorang mengurangi interaksinya secara sosial. Namun dalam perkembangannya istilah social distancing bergerak menjadi Physical distancing (jarak fisik) dengan maksud agar seseorang menjaga jarak fisik dalam berinteraksi dengan orang lain. Ini berarti sebagai upaya mengatur jarak antara seseorang dan orang lain saat berada di luar rumah dengan menetapkan batas jarak fisik tertentu dengan maksud untuk memutus penyebaran wabah penyakit. Sementara menurut aturan protokol kesehatan, jarak yang disarankan dalam merepakan physical distancing adalah berjarak setidaknya 2 meter dari orang lain.
Upaya yang dilakukan oleh sahabat Amr bin Ash dengan strategi social distancing yang menyarankan warga masyarakatnya agar menjaga jarak sosial (mengurangi interaksi sosial antar masyarakat) dengan cara berpencar antara masyarakat dan membatasi gerak interaksi dalam masyarakat. Melalui strategi menjaga jarak fisik dan jarak sosial dimaksudkan untuk memutus penyebaran wabah penyakit yang terjadi melalui interaksi antar ummat.
Konsep ini pulalah yang pada saat masa pandemi covid-19 ini menjadi salah satu strategi jitu untuk mengurangi proses penyebaran wabah penyakit. Inilah strategi jitu masa sahabat Amr bin Ash yang masih sangat relevan untuk dijadikan salah satu solusi memperkecil ruang gerak penyebaran covid-19 ini.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB