oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Sesampainya di kota Yatsrib yang kemudian berubah menjadi Madinah al Munawwarah, Rasulullah sempat berhenti di daerah Quba berjarak 5 kilometer dari kota Madinah dan tinggal beberapa hari di sana (empat hari) untuk menunggu kedatangan sahabat Ali bin Abi Thalib bersama rombongan. Kemudian Rasulullah mendirikan masjid di sana dan menjadi masjid pertama kali yang dibangun di Madinah setelah hijrah, yang kemudian dikenal dengan masjid Quba. Barang siapa yang shalat disana pahalanya sama dengan pahala Umroh, sebagaimana dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Setelah itu, Rasulullah mengambil keputusan yang sangat luar biasa dalam membangun kekuatan internal ummat Islam yang baru didakwahkan di Madinah ini yaitu mempersaudarakan antara kalangan muhajirin (orang yang ikut hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah) dengan kalangan anshar (orang tempatan Madinah yang membantu sepenuh hati). Suatu tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh pemimpin manapun di dunia yang menguatkan internal ummat secara tepat dalam membangun rasa persaudaraan dan rasa memiliki bersama serta rasa saling membangun kepedulian bersama sehingga ummat merasa menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga ummat merasa menjadi bagian antara yang satu dengan yang lainnya untuk saling tolong menolong, merasa satu tubuh dan merasakan setiap apapun yang dialami oleh yang lainnya. Dengan tindakan hebat ini maka ummat merasa menjadi bagian tak terpisahkan sehingga jika ada satu diantara mereka yang tersakiti maka yang lainnya pun merasakan sakit. Nilai ini pulalah yang ditanamkan dalam konsepsi sosial kemasyarakatan ummat, sebagaimana dalam sabdanya :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR. Muslim)
Tindakan mempersaudarakan antar ummat ini mampu mencipta rasa kebersamaan dan persaudaraan yang kokoh di dalam internal ummat. Sebuah pelajaran berharga bagi proses membangun kekuatan organisasi yaitu membangun rasa persaudaraan di dalam hubungan internal organisasi dengan mendorong agar setiap orang memiliki kepedulian bersama atas setiap individu dalam organisasi. Organisasi dipahami harulah menjadi sebuah rumah besar bersama yang didalamnya dibangun hubungan layaknya keluarga yang saling menguatkan dan saling tolong menolong menuju kebaikan dan keberhasilan bersama. Kemenangan suatu organisasi dalam membangun reputasi dengan melewati proses kompetisi antar kelompok haruslah bermula dari kekuatan internal organisasi. Seorang pemimpin dituntut mampu menguatkan internal organisasi, dan Rasulullah saw sangat mampu melakukan hal demikian dengan menciptakan perasaan bersama melalui proses persaudaraan kekeluargaan. Artinya modal utama suatu organisasi dalam membangun citra adalah melalui kekuatan internal. Sehingga perhatian terhadap pola hubungan internal publik dalam organisasi merupakan suatu hal yang selayaknya diutamakan dan didahulukan sebelum membangun kekuatan dan kepedulian pada pihak atau kelompok eksternal. Dengan kata lain bahwa citra terbentuk melalui keunggulan pola hubungan dan manajemen organisasi yang baik dan profesional. Profesionalisme organisasi terbentuk manakala publik internal merasa nyaman berada dalam lingkungan organisasi. Dan persaudaraan internal organisasi sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah adalah sebuah tindakan yang snngat cerdas. Inilah yang disebut prophetic intelligent.
Setelah kekuatan internal dibangun dengan kuat maka Rasulullah saw mampu menguasai secara penuh kepemimpinan kota Madinah. Sehingga Rasulullah memiliki kuasa penuh dalam menetapkan sebuah aturan sosial yang dapat menjamin terciptanya hubungan sosial yang harmonis melalui sebuah penandatangan pakta keepakatan dan kesepemahaman bersama untuk mengelola dan mewujudkan kota yang damai, harmonis dan sejahtera sebagai sebuah kota modern pada masa itu. Disinilah Nabi membuat kesepakatan bersama dengan nama Piagam Madinah.
Piagam Madinah memuat 47 tujuh pasal, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan di bawah kendali kepemimpinan Rasulullah saw dengan tetap menghargai serta memberikan keadilan atas hak-hak mayoritas dan menghormati hak minoritas. Serta tanggungjawab bersama dalam mengelola dan menjaga kondisifitas kehidupan sosial yang harmonis. Kesediaan patuh dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang berada dalam ikatan kesepakatan di Piagam Madinah yang berada dalam kendali kepemimpinan Rasulullah saw ini dikarenakan mereka telah benar-benar percaya dan telah melihat sendiri tentang kepemimpinan Rasulullah saw yang telah mampu membangun kekuatan internal ummat Islam secara nyata dan mampu menjadi kekuatan penting dan utama di Madinah. Hal demikian sehingga mampu membuat citra yang sangat positif kepada kepemimpinan Rasulullah dan ummat islam sebagai suatu entitas sendiri dan akhirnya berujung pada reputasi atas ummat Islam berupa ketundukan atas kepemimpinan Islam dibawah komando Rasulullah saw.
Dalam waktu singkat Madinah berubah menjadi kekuasaan yang disegani dan layak diperhitungkan kleh siapapun juga termasuk oleh masyarakat Makkah dan sekitarnya. Pelajaran berharga dari peristiwa ini adalah bahwa reputasi berupa kemenangan dalam kompetisi pengaruh antar kelompok akan diperoleh dengan sempurna manakala organisasi termasuk lembaga pelayanan mampu mencipta image atau citra positif atas organisasi yang bermula dari penciptaan kekuatan internal dengan cara memberikan perhatian utama atas publik internal dan membuatnya merasa nyaman berada di dalam organisasi. Merawat publik internal dari suatu organisasi adalah utama dan pertama dalam membangun citra positif organisasi, maka kemenangan di hadapan publik eksternal akan mudah di dapat. Artinya bahwa reputasi akan diperoleh melalui kekuatan citra internal yang positif dan melebihi ekspektasi publik.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB