Oleh : Greg Teguh Santoso
“Dalam dunia yang ramai oleh gema kekuasaan, suara jujur sering hanya terdengar sebagai bisikan. Namun bisikan Pak Kwik adalah gemuruh dalam jiwa bangsa ini.”
Pada Senin malam, 28 Juli 2025 pukul 22.00 WIB, Indonesia telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Ekonom senior, mantan menteri, pendidik, intelektual, sekaligus tokoh publik yang dihormati lintas generasi, Kwik Kian Gie, berpulang pada usia 90 tahun. Sebagai keturunan Tionghoa, masa kecilnya dijalani dalam situasi penuh ketegangan politik dan sosial. Namun keluarga Kwik menanamkan nilai kerja keras dan pendidikan sebagai fondasi kehidupan. Sejak muda, Kwik menunjukkan kecerdasan dan ketajaman berpikir. Setelah menyelesaikan pendidikan ekonomi di Universitas Indonesia, ia melanjutkan studi ke Belanda di Erasmus Universiteit Rotterdam dan lulus dengan predikat memuaskan.
Sekembalinya ke Indonesia, Kwik terjun sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi UI. Tapi gairahnya bukan hanya di ruang kuliah. Ia menulis banyak opini dan analisis tajam tentang situasi ekonomi dan politik Indonesia di media nasional, terutama Kompas. Tulisannya konsisten menyuarakan keberpihakan pada rakyat dan penolakan terhadap ketimpangan struktural. Di era Orde Baru, suara-suara kritis bukanlah hal mudah, namun Kwik tidak gentar.
Ia adalah sedikit dari ekonom Indonesia yang berani mempertanyakan kredibilitas pertumbuhan ekonomi yang diagungkan pemerintah. Ia mempertanyakan utang luar negeri, distribusi kekayaan yang timpang, serta kebijakan ekonomi yang menurutnya melayani kepentingan konglomerasi, bukan rakyat kecil.
Dalam salah satu artikelnya, beliau pernah menulis: “Pembangunan yang tidak adil akan menciptakan bom waktu. Ketika keadilan ekonomi diabaikan, stabilitas yang diciptakan hanyalah fatamorgana.” Kritik ini membuatnya dianggap oposisi oleh banyak elit penguasa. Tapi publik, terutama mahasiswa dan kelompok intelektual muda, menjadikannya ikon moral, khususnya terkait reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid menunjuknya sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Penunjukan ini mengagetkan banyak pihak, sebab Kwik dikenal sebagai pengkritik keras status quo. Namun Gus Dur yakin bahwa hanya orang dengan integritas yang layak mengatur arah baru ekonomi Indonesia pasca-krisis yang mengharu-biru saat itu. Namun jabatannya tidak membuatnya kehilangan suara. Ia tetap lantang mengkritisi kebijakan yang tidak pro-rakyat, bahkan dari dalam pemerintahan sendiri. Ia dikenal menolak pengampunan bagi pelaku korupsi BLBI melalui SKL (Surat Keterangan Lunas).
Indonesia (diakui atau tidak), hari ini menghadapi tantangan berat: ketimpangan yang terus melebar, ancaman utang, korupsi kebijakan, dan generasi muda yang bingung mencari arah di tengah banjir informasi. Dalam konteks ini, gagasan dan teladan Kwik menjadi sangat relevan. Beliau tiada henti mengajarkan bahwa kebijakan ekonomi harus berpihak pada rakyat. Bahwa pemerintah tidak boleh tunduk pada tekanan pasar global, melainkan pada mandat konstitusi: menciptakan keadilan sosial. Ia juga menegaskan pentingnya perencanaan jangka panjang yang tidak dikorbankan oleh kepentingan elektoral sesaat.
Kaum muda, yang kini menjadi mayoritas penduduk Indonesia, bisa belajar banyak dari keteguhan prinsip Kwik. Ia bukan hanya seorang ekonom, tapi seorang pembelajar seumur hidup, yang tidak pernah takut berkata benar. Ia telah menanam pohon pengetahuan dan kejujuran yang buahnya akan terus dinikmati generasi mendatang dan perlu terus dilestarikan. Sebagaimana ia tulis dalam salah satu esai terakhirnya: “Saya percaya, dalam keheningan malam atau dalam riuh kampus, akan selalu ada anak muda yang memilih jujur dan berintegritas. Di situlah harapan Indonesia.” Selamat jalan, Pak Kwik. (*)
*) Greg Teguh Santoso, pernah menjadi mahasiwa Pak Kwik, doktor di area Knowledge Management, pemikir independen.