Kanal24 – Pemerintah dan DPR terus mengupayakan sosialisasi terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) melalui berbagai kegiatan. Melalui sosialisasi itu, pemerintah berharap respon dan partisipasi dari masyarakat selama RKUHP dikaji hingga nanti disahkan. Berbagai upaya seperti dialog publik hingga penyebaran link draf digital RKUHP pun digencarkan demi menarik aspirasi masyarakat lebih khusus para ahli.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan bahwa sosialisasi RKUHP akan diadakan di sebelas kota. Sosialisasi itu rencananya akan dilaksanakan secara serentak di Medan, Palembang, Bandung, Surabaya, Samarinda, Makassar, Pontianak, Manado, Denpasar, Manokwari, dan Ternate.
“Dialog publik akan dilakukan secara tatap muka dan melalui media daring sehingga dapat lebih banyak menjangkau lapisan masyarakat,” kata Mahfud (7/09/2022) dilansir dari Kompas.com
Sepanjang proses sosialisasi kepada publik, pastinya muncul pro kontra dalam masyarakat. Beberapa kalangan merasa belum dilibatkan oleh pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU KUHP, salah satunya adalah organisasi pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Apindo menilai bahwa pemerintah harus lebih terbuka dalam menerima saran dan kritik masyarakat, termasuk juga dengan melibatkan kontribusi dari perwakilan atau asosiasi terkait dalam proses perumusan pasal-pasal krusial dalam RKUHP.
Sebelumnya sejak RKUHP mulai dibahas oleh DPR periode 2014-2019 pada pengambilan keputusan tingkat pertama hingga saat ini terhitung terdapat sejumlah pasal kontroversial di dalam RKUHP yang menimbulkan kritik masyarakat, di antaranya ada pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah serta pasal 353 dan 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Selain itu, Pasal 246 dan 247 tentang penghasutan melawan penguasa umum juga tak luput dari protes masyarakat.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers Apindo pada Kamis (20/10/2022) mengatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat kepada DPR untuk meminta rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait RKUHP. Permintaan itu merupakan tanggapan menyusul adanya beberapa pasal RKUHP terbaru yang menurut Apindo perlu untuk dipertimbangkan lagi. Hariyadi mencatat sedikitnya ada 3 persoalan yang disorot Apindo
Pertama, ketentuan terkait hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan hukum adat. Ketentuan ini menurut Apindo akan berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak diatur atau dilarang dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum.
“Hukum adat itu sesungguhnya hanya perlu dihormati, diakui, dan dijamin eksistensinya saja tanpa perlu dimasukkan dalam RUU KUHP,” kata Hariyadi
Hariyadi juga menjelaskan bahwa pasal tersebut akan menurunkan minat investasi pada daerah yang memiliki hukum adat terkait. Potensi kerugian itu bisa saja terjadi karena adanya risiko sengketa tanah adat jika perusahaan akan mendirikan di wilayah tersebut.
“Investasi akan enggan masuk ke suatu daerah karena ada potensi gangguan (ketidakpastian hukum),” ujarnya.
Kedua, pengaturan tindak pidana korporasi. Hariyadi menyebut pemidanaan korporasi ini terlalu luas artinya seolah semua orang dalam korporasi harus menanggung kesalahan. Padahal, keputusan terkait tindakan korporasi belum tentu diketahui oleh sebagian atau seluruh pengurus, karyawan dan pihak lain yang bekerja sama dengan korporasi. Pendekatan hukum yang tepat digunakan untuk korporasi seharusnya adalah hukum perdata.
Apindo juga menyoroti pidana tambahan pada tindak pidana korporasi berupa pembekuan usaha, denda hingga pencabutan izin pada perusahaan yang cenderung sedang kesulitan keuangan dapat berdampak langsung pada nasib pekerja yang kehilangan mata pencahariannya.
Ketiga, pemidanaan terhadap perzinahan. Ketentuan ini berpotensi merugikan kalangan pengusaha yang bergerak di bidang industri pariwisata dan perhotelan. Perzinahan ini layaknya masuk ranah privat, sehingga tidak perlu diatur oleh negara sebagai perbuatan pidana.
“Saat ketentuan pidana perzinahan itu dilaksanakan, maka berdasarkan asas teritorial dimana setiap orang yang masuk ke Indonesia wajib tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, maka turis asing yang tidak terikat dalam suatu pernikahan bisa dijerat pidana. Implikasinya adalah wisatawan asing akan beralih ke negara lain dimana hal tersebut akan berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan ke Indonesia,” pungkas Hariyadi. (elf)