KANAL24, Jakarta – Program Tol Laut yang dilakukan sepanjang periode pertama Pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal menurunkan biaya logistik Indonesia secara signifikan. Perlu ada keberanian pemerintah untuk melakukan kebijakan yang radikal agar bisa segera menekan biaya logistik.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita, menjelaskan bahwa biaya logistik Indonesia masih cukup tinggi dibanding negara lain.
“Kita bisa lihat biaya logistik Indonesia masih 24% dari total PDB,” kata Zaldy di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Zaldy melihat pelaksanaan tol laut yang dijalankan oleh Kementerian Perhubungan belum bisa menekan biaya logistik secara signifikan. Akibatnya, daerah-daerah yang dilalui jalur tol laut, menurut Zaldy, belum mengalami penurunan inflasi.
“Kita lihat, menurut Badan Pusat Statistik (BPS,red), belum juga ada penurunan harga barang secara signifikan,” jelas Zaldy.
Menurut Zaldy, ada beberapa penyebab dari kegagalan program tersebut. Pertama, subsidi pelayaran yang diberikan Kemenhub. Seharusnya, subsidi tidak diberikan kepada perusahaan pelayaran. Ketika subsidi telah habis, harga barang-barang, terutama di Indonesia Timur kembali mahal.
Ia menyarankan pemerintah memberikan subsidi kepada perusahaan pengelola pelabuhan. Dengan demikian, waktu bongkar muat barang di pelabuhan menjadi lebih cepat dan efisien. “Kalau masih seperti ini di periode kedua, saya kira tidak akan perubahan signifikan,” tutur Zaldy.
Kedua, ia merasa prihatin dengan fakta bahwa Kemenhub, regulator yang mengatur urusan logistik dan infrastruktur terkait logistik, termasuk melalui Program Tol Laut, justru memiliki masalah pungutan liar yang sangat parah.
Menurut catatan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), ada 3 nama kementerian yang paling banyak diadukan masyarakat. Ketiga instansi ini dilaporkan karena banyak pungli, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), dan Kementerian ATR/BPN.
“Dengan kondisi seperti itu, kita tidak bisa banyak berharap pemerintah akan membenahi inefisiensi logistik, termasuk masalah Tol Laut,” tutur Zaldy.
Ketiga, banyaknya barang impor yang membanjiri pelabuhan-pelabuhan besar di Pulau Jawa. Seharusnya, pemerintah melarang barang-barang kebutuhan pokok dari impor untuk masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Tanjung Emas. Barang-barang impor tersebut hanya boleh masuk ke pelabuhan- pelabuhan di Indonesia Timur seperti di Jayapura dan Bitung.
“Sehingga stok barang pokok dari impor akan membanjiri Indonesia Timur. Barang impor yang diangkut melalui tol laut ini akan bisa menurunkan harga secara signifikan di Indonesia Timur. Ini adalah kebijakan radikal yang dibutuhkan, yang seharusnya berani dilakukan oleh pemerintah,” tutup Zaldy.
Mengacu data Frost & Sullivan, biaya logistik China mencapai 14,5% dari Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara kawasan ASEAN bervariasi antara 9% sampai 24% dari PDB. Sementara Korea Selatan dan Jepang, biaya logistiknya sebesar 9 % dari PDB. (sdk)