Kanal24 — Dalam beberapa tahun terakhir, metode diet prolonged fasting atau puasa berkepanjangan menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku gaya hidup sehat. Dikenal mampu menurunkan berat badan secara drastis dalam waktu singkat, metode ini menuai banyak perhatian—baik dari pendukung maupun para ahli yang mengkhawatirkan dampak jangka panjangnya.
Baca juga:
Manfaat Naik Turun Tangga Setiap Hari Bagi Kesehatan
Apa Itu Prolonged Fasting?

Menurut penjelasan dari dr. Mulianah Daya, Sp.GK, Dokter Spesialis Gizi Klinik di Siloam Hospitals Lippo Village, prolonged fasting adalah metode berpuasa tanpa asupan kalori yang dilakukan selama minimal empat hari berturut-turut, atau sekitar 100 jam. Dalam masa ini, pelaku diet hanya diperbolehkan mengonsumsi cairan tanpa kalori, seperti air putih, teh, atau kopi tanpa gula.
“Kadang-kadang garam juga ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan elektrolit harian,” ujar dr. Mul saat diwawancarai oleh Health Liputan6.com pada Minggu, 5 Mei 2025.
Meski terdengar ekstrem, metode ini mulai banyak diadopsi oleh mereka yang ingin mencapai penurunan berat badan secara cepat tanpa menggunakan obat-obatan atau prosedur medis invasif.
Manfaat yang Menggiurkan: Berat Badan Turun hingga 8 Kilogram

Salah satu alasan mengapa prolonged fasting begitu menarik adalah hasilnya yang nyata dalam waktu singkat. Berdasarkan penelitian yang dikutip dr. Mul, seseorang dapat kehilangan antara 5 hingga 10 persen dari berat badannya hanya dalam satu minggu.
“Jika berat badan awalnya 80 kg, maka bisa turun sekitar 4 hingga 8 kg dalam seminggu,” jelasnya.
Selain penurunan berat badan, manfaat lain yang diklaim antara lain peningkatan sensitivitas insulin, perbaikan metabolisme, dan potensi regenerasi sel tubuh. Namun, manfaat tersebut masih membutuhkan kajian lebih lanjut untuk membuktikan efektivitasnya secara ilmiah dan jangka panjang.
Risiko yang Mengintai: Dari Efek Yoyo hingga Gangguan Elektrolit

Meski menjanjikan, prolonged fasting bukan tanpa risiko. Efek yoyo menjadi salah satu dampak paling umum, yakni kondisi ketika berat badan kembali naik dengan cepat setelah diet dihentikan—bahkan bisa melebihi berat badan awal.
“Tubuh cepat beradaptasi, dan sering kali berat badan kembali naik dengan cepat,” ungkap dr. Mul.
Tak hanya itu, metode ini juga meningkatkan risiko dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit, seperti kekurangan natrium, kalium, dan klorida. Gejala yang menyertainya bisa beragam, mulai dari rasa lemas, pusing, mata berkunang-kunang, hingga kehilangan kesadaran pada kasus yang lebih parah.
Tidak Cocok untuk Semua Orang
Dr. Mulianah menekankan bahwa prolonged fasting bukan metode diet yang bisa diterapkan secara sembarangan. Mereka yang memiliki riwayat gangguan metabolisme, tekanan darah rendah, gangguan ginjal, atau kondisi medis lain perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum mencobanya.
Selain itu, metode ini juga tidak dianjurkan untuk ibu hamil, anak-anak, lansia, maupun individu dengan aktivitas fisik tinggi yang memerlukan asupan energi stabil setiap hari.
Baca juga:
Dosen UB Sosialisasi Kesehatan dan Digitalisasi Bumdes di Pamekasan
Efektivitas Harus Diimbangi dengan Keamanan
Prolonged fasting memang menawarkan hasil instan bagi mereka yang ingin menurunkan berat badan, tetapi potensi risikonya tidak boleh diabaikan. Dalam dunia kesehatan, hasil cepat tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan dan keamanan jangka panjang.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk mencoba metode ini, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter yang berkompeten. Menjaga kesehatan tetap menjadi prioritas utama dalam setiap usaha menurunkan berat badan. (zid)