KANAL24, Malang – UU No.8/2016 Pasal 5 yang mengatur tentang hak penyandang disabilitas seperti pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi, kesehatan politik, keolahragaan, aksesibilitas, pelayanan publik, hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat, berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi, bebas dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.
Pada kenyataannya belum terealisasi secara maksimal. Pada 2019, tercatat sekitar 401 orang mahasiswa disabilitas di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Hanya 5 persen dari 10.8 juta penduduk disabilitas usia kerja telah lulus kuliah.
Persoalan masa depan anak berkebutuhan khusus ini, membuat tim pengabdian masyarakat Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) yang terdiri dari Unita Werdi Rahajeng, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Ziadatul Hikmiah, M.Sc bersama mahasiswa Fiqih Teni, Alfia, dan Melina Purnomo melakukan pengabdian melalui seminar online bertajuk Persiapan Matang, Masa Depan Gemilang : Dukungan Orang Tua kepada Siswa Berkebutuhan Khusus untuk Menghadapi Kehidupan Pasca Sekolah, jumat (11/9/2020).
Seminar ini diikuti oleh orang tua dan wali siswa berkebutuhan khusus SMA Muhammadiyah 1 Malang serta orang tua anak berkebutuhan khusus.
Pemateri pertama di seminar daring ini adalah Tommy Hari Firmanda, S.Psi., M.Si., M.Ed (SpecEd) seorang konselor di Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB). Tommy memaparkan tentang disabilitas dan transisi menuju kehidupan dewasa. Tommy berfokus pada 2 bidang hak penyandang disabilitas, yaitu pendidikan dan pekerjaan.
“Tantangan di Perguruan Tinggi saat ini yaitu rendahnya kesadaran disabilitas di kalangan pejabat kampus baik sikap maupun cara pandang. Kemudian, kurikulum PT belum dapat mengakomodasi kebutuhan mahasiswa disabilitas, sarana prasarana pendukung masih minim, keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan masih kurang, ULD masih sedikit, serta kurikulum SLB/inklusi tidak setara dengan kesiapan kuliah,” katanya.
Sedangkan tantangan di dunia kerja, menurut Tommy adalah penyerapan tenaga kerja penduduk disabilitas yang masih rendah, adanya stigma negatif bahwa pekerja yang disabilitas cenderung tidak produktif, adanya diskriminasi dalam persyaratan penerimaan tenaga kerja, sarana dan prasarana belum ramah disabilitas, belum objektif terhadap perbedaan terkait upah dan promosi kerja. Lalu, belum ada badan pengawas khusus untuk menangani apabila terjadi pelanggaran hak atas pekerjaan, serta data penyandang disabilitas bagi perekrutan tenaga kerja.
Oleh karena itu, menurut Tommy perlu adanya program transisi pasca sekolah bagi penyandang disabilitas. Perlu mengkaji kembali sistem pendidikan vokasi khusus penyandang disabilitas untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas, serta perlu dibuat kurikulum yang lebih inklusif dan setara di semua jenjang pendidikan.
Sementara itu, di paparan selanjutnya, Unita Werdi Rahajeng, S.Psi., M.Psi., Psikolog menyampaikan bahwa dukungan sosial orang tua sangat penting bagi anak berkebutuhan khusus karena sebagai penunjang untuk mencapi prestasi belajar dan harapan yang dinginkan, anak akan merasa bahwa dirinya diperhatikan dan diperdulikan oleh orang tua.
Baca juga:
UB Kuatkan Showroom Produk Unggulan Desa di Rest Area Karangploso
“Selain memberikan dukungan, orang tua perlu merancang masa depan bagi anak dengan disabilitas. Setidaknya atau idealnya sudah mulai dilakukan ketika anak berusia 14 tahun. Perencanaan masa depan idealnya tidak hanya dibuat oleh orang tua namun harus melibatkan anak berkebutuhan khusus. Selain itu, juga berkoordinasi dengan pihak sekolah sehingga dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari PPI (Program Pembelajaran Individual),” terang Unita.
Orang tua juga diharapkan dapat meluangkan waktunya untuk mendiskusikan opsi masa depan yang sesuai dengan IMBU (Keinginan, Minat, Kebutuhan, Keunggulan) anak.
“Orang tua dapat memikirkan jenis-jenis pendidikan lanjut/pekerjaan yang cocok dengan IMBU anak. Berikan wawasan kepada anak tentang pekerjaan tersebut. Ajak anak untuk melihat secara nyata pekerjaan-pekerjaan tersebut dan beri kesempatan bagi anak untuk menyampaikan pendapatnya,” tandasnya. (Meg)