Kanal24, Malang – Revisi UU KPK yang menjadi sorotan utama adalah independensi KPK yang berkurang atau dilemahkan. Diungkapkan oleh Researcher Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM, Eka Nanda Ravizki pada FGD Menuju KPK yang Lebih Kuat, hari ini (31/10/2019) di FH UB.
Dengan disahkannya UU No.19 Tahun 2019 mengenai perubahan UU KPK, manjadikan lembaga anti rasuah tersebut serumpun dengan eksekutif, pegawai KPK menjadi ASN, dan dibentuknya dewan pengawas, yang mana di negara atau teori manapun yang namanya lembaga negara independen tidak ada mekanisme dewan pengawas.
“Dewan pengawas diperlukan untuk mengawasi etik dari pimpinan maupun pegawai KPK, tapi dewan pengawas saat ini masuk ke proses pro judicial, yang mana itu mengurangi keindependensiannya KPK. karena apa-apa harus izin dan lapor,” terangnya.
Lebih lanjut, menurut Eka di UU KPK yang baru ini, mekanisme belum cukup clear. Ketika ingin melakukan proyeksi atau simulasi, penyidik dan penuntut KPK akan mengalami berbagai missing peraturan, sehingga tidak bisa mengimplementasikan tugasnya dengan baik.
Tidak menutup fakta bahwa di KPK terjadi banyak masalah, konflik antar pegawai, konflik antara pimpinan dengan jajaran maupun dengan lembaga kepegawaian. Memang betul butuh dewan pengawas, tapi dewan pengawas yang harusnya hanya fokus ke wilayah etik dan pengembangan karakter dari pimpinan maupun kepegawaian, bukan dewan pengawas yang sampai ke mekanisme pro judicial.
“Di kepolisian punya wewenang yang luar biasa dalam pro judicial, tapi ada Kompolnas (Komisi kepolisian nasional) itu mirip lembaga pengawas juga. Kompolnas ini tidak punya fungsi pro judicial, hanya mengawasi etika tindak tanduk polisi itu sendiri. Tidak pernah polisi ketika ingin melakukan penyadapan, penyitaan maupun penggeledahan harus lapor dulu ke Kompolnas,” jelas pakar hukum UGM tersebut.
Dewan pengawas harus disistemkan seperti dewan yang mengawasi etik. Output dari kegiatan ini, karena UUnya sudah resmi berlaku beberapa waktu lalu, maka tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mekanisme judicial review ke MK. Kemudian, kita tetap mendorong Presiden untuk mengeluarkan Perppu setidaknya membatalkan UU No.19 Tahun 2019 itu tadi, supaya nanti bisa dibahas bersama DPR, Pemerintah dan akademisi. Ketika akademisi dilibatkan dalam perbincangan antara DPR dan Presiden, akademisi dapat memberikan masukan bagaiamana sebaiknya evaluasi dari UU KPK tersebut.
Eka menghimbau kepada pimpinan KPK yang baru agar jangan hanya berfokus ke pencegahan korupsi, karena penindakan sebagai ujung tombak penjeraan ultimum remedium harus tetap dilakukan.
“Kejahatan korupsi di Indonesia sudah sangat luar biasa terjadi di segala aspek, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya sehingga aspek penindakan harus tetap diutamakan. Kenapa saya bilang seperti ini karena pada fit and properties kemarin, ketua KPK sekarang Bapak Firli Bahuri menyatakan bahwa akan lebih fokus ke pencegahan, disitu poin yang kita kurang setuju,” pungkasnya. (meg)