“Kearsipan dimanapun ia berada memerlukan keleluasaan dan inovasi. Sayangnya, ia juga dihantam birokratisasi yang cenderung panjang lebar.”
Di kalangan para pimpinan perguruan tinggi umumnya masih ada saja pemahaman bahwa arsip atau kearsipan hanya terbatas pada “surat menyurat” bahkan “tumpukan dokumen yang siap dimakan usia.” Namun memang beberapa dari antara mereka sudah banyak juga yang menyadari betapa pentingnya memecahkan masalah kearsipan ini. Banyak juga pernyataan dari para pimpinan perguruan tinggi membutuhkan sistem kearsipan yang terbaik tetapi tidak mengetahui cara yang terbaik dan cocok untuk lembaga mereka. Pemahaman mereka atas masalah kearsipan memang beragam dan terkadang belum mengarah pada suatu konsep yang jelas, oleh karenanya ada yang belum melaksanakan. Kalaupun dilaksanakan juga masih seadanya.
Para pimpinan perguruan tinggi juga mengatakan kesadaran tentang pentingnya kearsipan belum ada karena belum pernah diberikan pengetahuan dan praktik tentang kearsipan yang baik dan benar. Salah satu contoh konkret yang rutin kita lihat misalnya ketika harus berhadapan dengan ragam akreditasi serta monitoring dan evaluasi kegiatan, betapa kalang kabutnya mereka dalam menghadapinya. Selalu menarik untuk disimak pandangan para pimpinan perguruan tinggi terkait kearsipan. Pada dasarnya mereka mengharapkan sistem kearsipan yang dapat mendukung perkerjaan mereka, termasuk dalam menggerakkan lembaga menuju visi dan misi yang diharapkan.
Yang penulis maksud dengan kearsipan di atas tentu saja bukan hanya persoalan ada tidaknya ruangan atau gedung arsip, bukan melulu ketiadaan atau keberlimpahan koleksi arsip, dan jelas bukan pula hanya persoalan gaji pengelolanya serta statusnya yang terkadang samar-samar (untuk tak mengatakan “tidak jelas”). Lebih dari itu, kearsipan menyangkut keseluruhan pandangan, budaya, orientasi, sikap, tindakan, dan sarana prasarana yang dikerahkan oleh perguruan tinggi demi kebaikan seluruh sivitas akademiknya melalui pengembangan “bukti jaminan mutu” yang menyokong pilar akuntabilitas, integritas dan terlebih lagi masalah memori kolektif yang menyangkut identitas perguruan tinggi tersebut.
Kearsipan di Perguruan Tinggi
Salah satu isu mendasar yang kini dialami oleh banyak lembaga publik termasuk perguruan tinggi di Indonesia, adalah isu “value of records and archives” apa sebenarnya nilai dan makna kearsipan bagi mereka? Kita sadar bahwa setiap pekerjaan dan kegiatan di perguruan tinggi memerlukan data, informasi hingga pengetahuan. Salah satu sumber data dan informasi adalah arsip, karena arsip adalah bukti dan rekaman yang unik sekaligus autentik dari kegiatan atau transaksi mulai dari kegiatan administrasi secara sederhana hingga pada ragam kegiatan level tertinggi yang bersifat vital dan strategis. Maka bisa kita katakan bahwa pengelolaan arsip di sebuah perguruan tinggi bisa dijadikan sebagai indikator pengelolaan perguruan tinggi yang baik atau sebaliknya.
Sebagaimana merujuk pada definisi arsip dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, arsip perguruan tinggi dikonsepkan sebagai sistem penyelenggaraan kearsipan yang menjadi mekanisme pengelolaan arsip secara terintegrasi sehingga menjamin keselamatan arsip secara sistemik.
Dijelaskan di dalam Pedoman Penyelenggaraan Arsip Perguruan Tinggi, arsip perguruan tinggi (university archives) adalah lembaga dan unit yang wajib ada, dapat berbentuk satuan organisasi perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang melaksanakan fungsi dan tugas penyelenggaraan kearsipan di lingkungan perguruan tinggi (Lampiran Peraturan Kepala ANRI Nomor 24 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Arsip Perguruan Tinggi, hlm: 5). Setidaknya terdapat 18 regulasi yang menyangkut Tata kelola Kearsipan di perguruan tinggi yaitu :
- UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan;
- UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
- UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
- UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik;
- PP No.28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan;
- Perpres No.39 Tahun 2019 Tentang Satu Data Indonesia;
- Perpres No.95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik;
- Perpres No.13 Tahun 2015 tentang Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
- Perka ANRI No.12 Tahun 2009 tentang Jadwal Retensi Arsip Fasilitatif Non Keuangan dan Non Kepegawaian;
- Perka ANRI No.24 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Arsip Perguruan Tinggi;
- Permen Ristek Dikti No.15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;
- Permen Ristek Dikti No.51 Tahun 2015 tentang Tata Naskah Dinas Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi;
- Peraturan ANRI No.6 Tahun 2019 tentang Pengawasan Arsip;
- Perka ANRI No.06 Tahun 2005 Tentang Pedoman Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/Arsip Vital;
- Keputusan Kepala ANRI N.32 Tahun 2016 tentang Instrumen Audit Kearsipan;
- Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologii No.20 tahun 2022 Tentang Peneyelenggaraan Kearsipan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi;
- Permen Ristek Dikti No.23 Tahun 2018 Tentang Klasifikasi Arsip, Jadwal Retensi Arsip, dan Sistem Klasifikasi Keamanan dan Akses Arsip Dinamis di Lingkungan Kemenristek Dikti.
Dari penjelasan dan ragam regulasi di atas bisa kita simpulkan bahwa arsip perguruan tinggi merupakan arsip yang mempunyai nilai guna, artinya arsip yang akan diperlukan atau digunakan oleh pihak terkait, selain pencipta arsip, yang berhubungan dengan seluruh bagian kegiatan perguruan tinggi. Setidaknya terdapat lima tujuan dan fungsi penyelenggaraan kearsipan di perguruan tinggi yaitu : (1) sebagai bukti konkret berjalannya penjaminan mutu tridharma, (2) mendukung dan memfasilitasi administrasi serta pengembangannya, (3) jaminan adanya bukti kegiatan dan transaksi, serta tersedianya akses terhadap bukti tersebut baik bagi pihak internal maupun eksternal, (4) memperkenalkan penemuan dan diseminasi pengetahuan melalui layanan publik serta (5) melestarikan dan menyediakan memori kolektif yang merupakan identitas dan sumber karya intelektual lembaga.
Birokratisasi dan Ragam Masalah Kearsipan di Perguruan Tinggi
Di Indonesia tercinta ini, semua orang akan mafhum jika ada yang mengatakan bahwa dunia kearsipan di perguruan tinggi pada umumnya sedang dalam keadaan dibirokratisasi selain masalah “kesadaran lembaga.” Birokratisasi adalah kecenderungan (tendensi) untuk mengelola sebuah kegiatan dengan menekankan segi pengendalian (kontrol) melalui prosedur yang ketat dan terinci; seringkali demi kepentingan pengendalian itu semata atau demi kepentingan si pengendali.
Sebaiknya kita membedakan antara “birokrasi” dan “birokratisasi”. Semua lembaga termasuk kearsipan memerlukan birokrasi. Tetapi tak semua birokrasi menunjukkan kecenderungan birokratisasi. Birokratisasi adalah kesengajaan untuk mengubah sebuah lembaga menjadi “mesin rasional” yang cenderung menomor-duakan atau bahkan mengabaikan hubungan antarmanusia. Apakah birokratisasi ini “buruk” atau “baik” akan bergantung pada situasi dan konteks di mana ia diterapkan.
Hal tersebut tidak berarti bahwa kearsipan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia diabaikan sama sekali; ada banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang amat serius mengembangkan sistem kearsipan mereka saat ini, salah satunya hingga mendapat akreditasi kearsipan perguruan tinggi yang sangat baik dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Peningkatan kualitas tata kelola, sarana prasaranan dan kapasitas sumber daya manusia kearsipan yang bersinambungan, menjadi salah satu bukti keseriusan itu.
Selain birokratisasi, setidaknya terdapat empat ragam masalah kegiatan kearsipan di lingkungan perguruan tinggi seperti (1) kompetensi dan penunjukan sumber daya manusia pengelola arsip yang kurang jelas, (2) jumlah, duplikasi, multi format dan tersebar serta sementara, (3) setiap unit menyimpan serta mengelola dengan menggunakan sistem sendiri dan cenderung tidak standar, dan (4) diperlukan komitmen dan kontrol lembaga yang konsisten serta sistematis terhadap sistem kearsipan.
Solusi Awal yang Ditawarkan
Sangat jelas bila kearsipan meliputi seluruh aspek pelaksanaan tugas dan fungsi sehingga dari segi manajemen penting sekali. Sistem kearsipan yang disusun secara baik harus digunakan sebagai acuan untuk siapapun yang berada di situ dan melangkah ke masa yang akan datang. Pemahaman yang paling progresif juga pernah penulis temukan pada seorang pimpinan lembaga yang berpendapat bahwa penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) berawal dari penerapan kearsipan yang baik dan benar. Maka dalam hal mendasar tentang solusi awal kemudian muncul dua pertanyaan sebagai berikut :
Pertanyaan pertama adalah, maukah lembaga kita bertransformasi? Andaikan mau, segera saja dapat diduga akan tidak mudah melaksanakan transformasi itu. Berbagai tantangan akan muncul. Dapat dikatakan, tantangan pertama tentu muncul dari birokrasi yang mengatur lembaga kita kemudian tentu saja budaya organisasi. Tidak mudah memodifikasi budaya organisasi dan aturan kaku yang berlangsung. Apalagi dengan tidak adanya perhatian pemimpin, dukungan anggota lembaga dan penerapan aturan baku tentang kearsipan di sebuah perguruan tinggi. Karena itu muncul pertanyaan kedua yaitu, beranikah lembaga melakukan transformasi? Untuk menjawabnya tentu harus diukur terlebih dahulu kekuatan tawar jika berhadapan dengan birokrasi dan budaya organisasi. Dalam hal ini lembaga harus dapat merumuskan strategi transformasi yang direncanakan.
Membiarkan birokratisasi dan bahkan patologi administrasi merajalela sama dengan menghalangi munculnya kearsipan yang inovatif dan berguna bagi kemajuan perguruan tinggi itu sendiri. Semua pihak yang peduli pada kearsipan sudah sewajibnya menghilangkan birokratisasi dan dan patologi administrasi di kearsipan. Peran dan otonomi profesi arsiparis “fungsional” harus semakin diperhatikan dan ditingkatkan. Tugas mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan
kearsipan sebaiknya diberikan kepada para arsiparis fungsional. Mereka harus terus didorong untuk berpikir out of the box termasuk “ke luar kantor.” Profesi arsiparis seharusnya menjadi aktivis sosial, mengenal masyarakat sivitas akademik sekeliling secara akrab, dan mampu merancang program-program kearsipan yang sesuai kondisi perguruan tinggi serta kebutuhan sivitas akademiknya. Semoga.
Penulis : Muhammad Rosyihan Hendrawan, Dosen Program Studi S1 Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya