Ini kisah apokrif yang kerap kita dengar atau baca. Di salah satu sudut kota Madinah terdapat seorang Yahudi tunanetra. Ia pengemis yang sering menyampaikan serapah, termasuk ke Rasulullah Muhammad SAW. Tiap pagi ada seseorang yang membantu menyuapinya dengan lembut. Namun, tak lama kemudian orang yang biasa menyuapi itu wafat. Abu Bakar mencoba meneruskan teladan tersebut dan menggantikan mendulang orang itu tiap pagi. “Siapa kamu? Orang yang biasa mendulang selalu menghaluskan makanan sehingga aku mudah mengunyahnya”, hardik pengemis itu.
Abu Bakar sontak berlinang air mata. “Aku memang bukan orang yang biasa melakukannya tiap pagi. Aku adalah salah satu sahabatnya, namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa menyuapimu itu telah wafat. Ia adalah Muhammad SAW.” Pengemis itu terguncang batinnya, lantas menangis tersedu.
“Selama ini aku selalu memaki dan menghujat Muhammad. Padahal, aku tak pernah melihat dan mendengar ia memarahiku. Ia tiap pagi selalu datang dengan membawa makanan dan mendulangku dengan lembut. Dia begitu mulia,” ujar pengemis terbata. Saat itu juga, di depan Abu Bakar, ia mengucap dua kalimat syahadat.
Laku Rasulullah dalam semua kehidupannya selalu dipenuhi sikap asah, asih, dan asuh kepada siapapun. Dia maafkan orang yang mencuri, memaki, melempar kotoran, dan beragam tindakan menyakitkan lainnya. Ia tidak pernah menggunakan mahkota “Rasul” yang melekat dalam diri sebagai kekuasaan untuk memukul balik, atau bahkan melenyapkan. Banyak sahabat yang geram dengan sikap Nabi. Mereka sudah tidak tahan untuk membunuh para penghina Muhammad. Namun, Rasul selalu melarangnya. Angkara mesti ditundukkan dengan sikap kasih. Amarah tak boleh mengendalikan tabiat. Welas asih wajib memimpin.
Teladan semacam itu bukan hanya monopoli Rasul. Dalam tingkatan yang berbeda ataupun jenis belas yang lain, beberapa sosok menabalkan perangai yang sama. Nelson Mandela pada hari pertama menjadi Presiden Afsel memaafkan sipir yang dulu kerap meludahinya ketika di penjara. Bunda Teresa memberikan kasih utuhnya kepada para kaum papa dan penderita kusta di Kalkuta, India. Ia menjadi perempuan paling berpengaruh di dunia. Demikian pula dengan Mahatma Gandhi yang meramu ajaran non-kekerasan (Ahimsa). Mereka adalah manusia yang mulia (yasa) bukan karena mahkota di kepala, namun sebab krida welas asih (dharma) kepada sesama.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FE UB dan Ketum IKA UB