Suatu hari Umar bin Khatab dan Patriarch Sophorinus melihat gereja tua yang bernama Holy Sepulchre di Jerusalem. Saat waktu salat tiba, Sophorinus menawari Umar sembahyang di gereja. “Jika saya salat di sini, maka orang Islam sesudahku akan menganggap gereja ini milik mereka, hanya karena saya salat di tempat ini,” jawab Umar halus. Umar akhirnya memilih salat di luar gereja untuk menghindari hal yang tak diinginkan tersebut. Bagian dari tenggang rasa Umar ini lantas ditabalkan dalam sebuah piagam perdamaian yang bernama “al-‘Uhda al-Umariyyah” .
Rasulullah juga banyak memberikan teladan dalam perkara tasamuh. Jabir bin Abdullah berkata: “Suatu saat jenazah melewati kami, lalu Nabi berdiri dan kami pun berdiri. Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mayat itu adalah jenazah orang Yahudi.’ Beliau bersabda, ‘Jika kamu melihat jenazah, maka berdirilah!'” Sahabat lain juga menerapkan sikap semacam itu dalam bermuamalah, seperti Abdurrahman bin ‘Auf yang memulai usaha di hari-hari pertama saat tiba di Madinah dengan berdagang di pasar Bani Qainuqa’ kepunyaan Yahudi. Ali bin Abu Thalib sebagian persiapan walimahnya ditangani pula oleh seorang dari Bani Qainuqa’.
Islam merupakan agama akhlak yang menghormati perbedaan sehingga tak seharusnya menjadi sumber petaka kehidupan. Bahkan, perbedaan agama tidak lantas membatasi Rasulullah untuk menghargai orang yang memiliki keyakinan lain. Praktik semacam itu menjadi krida sehari-hari Nabi ketika bermasyarakat. Seperti dituturkan oleh Ibnu Hisyam dalam Sirah al-Nabawiyah: ketika waktu kebaktian tiba, beberapa orang utusan Nasrani Najran langsung berdiri dan menghadap ke timur untuk melakukan kebaktian di masjid. Para sahabat terkejut melihat delegasi tersebut. Mereka pun berniat untuk melarangnya. Namun, saat itu pula Rasulullah berkata, “Biarkanlah mereka.”
Suasana ramadan kerap menjadi pemantik perihal toleransi ini. Lazimnya, ketika bulan puasa tiba dianjurkan resto atau tempat hiburan malam dikendalikan operasinya untuk memuliakan kaum yang menjalankan puasa. Anjuran tersebut sah saja, tapi jangan sampai dipaksakan. Pelaku ekonomi tersebut (sebagian dilakukan juga oleh orang Islam) memerlukan penghidupan, demikian pula pekerjanya. Bagi yang menunaikan ibadah puasa, godaan terbesar bukan melihat orang lain sedang makan lahap, namun membenamkan nafsu. Teladan Nabi dan para sahabat sudah terang benderang: salah satu tanda kedalaman beragama ditampakkan dari kearifan menerima perbedaan.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB