Saat kita membaca Homo Deus karangan Yuval Noah Harari, banyak kisah dramatik sejarah manusia yang terjadi, salah satunya bencana kelaparan. Pada 1692-1694 sekitar 2,8 juta penduduk Perancis mati kelaparan, saat yang sama Raja Louis XIV menghabiskan waktu bersama dayang-dayangnya di Versailles. Setahun setelahnya kelaparan merenggut 1/5 penduduk Estonia. Usai itu, giliran warga Finlandia berkurang 1/3. Skotlandia menyusul kelaparan parah periode 1695-1698. Saat ini kelaparan juga tetap terjadi, tapi oleh sebab bencana “politik kelaparan” (karena ulah politisi). Ini yang terjadi di Somalia, Sudan, Suriah, dan tempat lain.
Ironisnya, ketika kelaparan tetap terjadi (meskipun dalam skala jauh lebih rendah dibanding 4 abad lalu), di sisi lain terdapat pembengkakan penduduk yang kegemukan. Pada 2014, Harari mencatat, lebih dari 2,1 miliar orang kelebihan berat badan, pada saat yang sama “hanya” 850 orang yang menderita gizi buruk. Sekitar 50% populasi dunia pada 2030 akan memiliki kelebihan berat badan. Pada 2010, kelaparan digabung dengan gizi buruk membunuh sekitar sejuta manusia, sedangkan obesitas menewaskan 3 juta orang. Jadi, isunya ialah ketimpangan (pangan), bukan kelangkaan.
Mesin pembunuh berikutnya adalah wabah. Epidemi Maut Hitam pada 1330 merenggut 4 dari 10 warga Inggris, 75-200 juta penduduk Eurasia mati, dan Kota Florensia kehilangan separuh warganya. Pada 1520 virus cacar melenyapkan 8 juta penduduk Meksiko. Pada 1918 Flu Spanyol mengamuk sehingga sekitar 500 juta penduduk dunia ambruk oleh virus tersebut. Sesudah itu ada SARS, flu burung, kolera, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan sukses menemukan obat dan nyaris berhasil menangani semuanya. Namun, hari ini seluruh dunia tengah bertarung melawan pandemi Covid-19 yang telah melumpuhkan kehidupan ekonomi.
Epidemi alamiah, tulis Harari, barangkali sudah usai. Tapi, epidemi besar masih mungkin terjadi karena manusia sendiri yang menciptakan demi ideologi yang kejam. Pendapatnya ini bisa salah, tapi juga bukan opini yang sesat. Perkara yang sama juga juga bisa dilekatkan kepada perang. Pertempuran yang terjadi selalu terkait dengan penguasaan. Politik pembesaran kekuasaan atas sumber daya bekerja di balik keputusan perang.
Singkat kata, ilmu terbang tinggi sehingga sanggup menjinakkan aneka soal. Namun, sikap serakah yang membuat pengetahuan kerap terbenam di dasar samudera. Sebulan ini kita dilatih lagi menenggelamkan kerakusan.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB