Pada 2019 tercatat 33 ribu perusahaan di Jepang yang berumur lebih dari 100 tahun. Ini berdasarkan riset yang dilakukan oleh Teikoku Data Bank. Pada 2008 Bank Korea menemukan 5.586 korporasi yang berusia lebih dari 200 tahun di 41 negara, yang 56% di antaranya berada di Jepang. Hotel tertua di dunia beroperasi sejak tahun 705 di Kota Yamanashi. Sementara itu, penjual manisan Ichimonjiya Wasuke sudah berdagang di Kyoto sejak tahun 1000. Di Kyoto juga ada kedai Tsuen Tea yang hanya jualan teh (hijau) dan es krim. Warung yang buka sejak 1160 ini diklaim sebagai kedai tertua yang beroperasi hingga sekarang (BBC Worklife).
Di Uppingham, Inggris, ada perusahaan yang berdiri pada 1847 (Plumbing, Heating, and Mechanical Services). Pendiri korporasi ini bernama George Cliff. Sekarang usaha dagang ini dikelola oleh generasi kelima, yakni Robert Cliff (secara operasional sebetulnya telah dikelola oleh dua anaknya: Tony dan David). Sepertinya, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kedua anaknya itu akan mengambil alih tongkat estafet entitas bisnis ini. Dengan enteng Robert bilang sebentar lagi akan undur diri dan mengurangi jam kerja. Tapi, meski sudah mengurangi jam kerja pun, ia masih menghabiskan 60 jam kerja/minggu. Etos kerja yang menembus langit.
Tak mudah untuk melacak penyebab organisasi bisnis itu bisa bertahan sedemikian lama. Korporasi Jepang dikenal memiliki orientasi jangka panjang dan amat menghargai tradisi. “Shinise” (toko lawas) itu mengandalkan komunikasi dari hati ke hati dan itu dipandang bagian terbaik dari “ryokan”. Pemilik kedai Tsuen bilang: “Tujuan saya bukan membuat perusahaan ini lebih besar, mendapatkan laba lebih atau menjejakkan jaringan keluar negeri.” George kurang lebih juga punya opini yang sama. Dia berujar: “We try to keep people happy, do a quality job and give value for money whilst not letting people down” (marketingdonut.co.uk).
Suatu sore saya pernah mampir di Warung Tinggi Koffie, Jakarta. Semula warung kopi ini bernama Tek Soen Hoe. Kedai ini dibuka sejak 1878 oleh Liauw Tek Soen dengan istrinya. Niat saya ingin bersulang minum kopi di kedai ini, tapi ternyata sekarang cuma jualan biji kopi. Saya akhirnya beli biji kopi sangrai sambil bercakap dengan pemiliknya (saat ini dikelola oleh Angelica Widjaja), yang menceritakan mereka sudah ekspor kopi sekitar 20 ton/bulannya. Persis seperti usaha di Jepang dan Inggris, misi kedai ini ialah “balancing tradition and modernization”: fokus merawat tradisi dan berbagi bahagia (benefit sosial), bukan semata menguber laba (profit finansial).
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB