Salah satu pustaka menggetarkan yang saya baca semasa mahasiswa adalah karya Kuntowijoyo (budayawan, sastrawan, dan sejarawan masyhur). Judul bukunya: Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Editornya AE. Priyono (yang baru saja wafat) dan pengantar diberikan oleh M. Dawam Rahardjo (intelektual-cum-aktivis yang amat terpuji ini). Kitab yang saya beli pada 14 Agustus 1995 ini, juga pidato pengukuhan Dawam Rajardjo yang bertajuk “Pragmatisme dan Utopia”, turut membentuk cara pandang ekonomi yang saya yakini. Pikiran Kuntowijoyo sangat progresif pada hampir sekujur halaman. Bagi mahasiswa, bacaan ini juga jadi “teologi” untuk agenda aksi.
Salah satu bagian buku yang menggugah ialah bahasan soal “Konsep Kelas dalam Islam”. Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial. Namun, Alquran tidak menoleransi ketimpangan sosial. Islam justru memiliki cita-cita untuk menegakkan egalitarianisme. Oleh sebab itu, setiap muslim wajib terlibat mendirikan tujuan egalitarianisme dan keadilan. Gerakan Islam, ujar Kunto, harus menentukan pemihakan kelas. Hal ini didasari untuk meneguhkan keadilan, bukan perjuangan untuk melenyapkan kelas lainnya (berbeda dengan komunisme yang bertujuan menciptakan diktator proletariat).
Secara kategoris Islam mengakui hak perorangan untuk mengakses kekayaan dan kekuasaan, namun dengan tegas Islam melarang terjadinya konsentrasi dan monopoli terhadap keduanya, karena hal itu akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Alquran secara vokal menyerukan agar kekayaan -dan oleh karena itu juga kekuasaan dan kehormatan- tidak boleh hanya beredar di kalangan kelas kaya saja (QS 59:7). Kuntowijoyo percaya bahwa zakat bukanlah lelaku kebaikan hati orang berpunya, tapi merupakan kewajiban kelas kaya untuk mengukuhkan keadilan sosial. Zakat bahkan dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh negara.
Tanpa disadari telah terjadi pula penyusupan ideologi Mohammad Hatta ke teologi Kuntowijoyo. Ia tak menolak korporasi besar, tapi mereka harus memberikan sahamnya ke pekerja untuk dikelola oleh koperasi. Gagasan reforma agraria yang pernah dilakukan pada masa khalifah Umar bin Khattab juga dijadikan contoh praktik reformasi modal yang dikerjakan untuk keadilan. Jika tak mungkin dilakukan, maka konsolidasi lahan ditempuh dengan pendekatan “cooperative farming.” Intinya, harta dibagi tidak semata untuk pembersihan, namun kesadaran terdapat nisbah sosial dari tiap keberlimpahan individual. Puasa dan zakat mempertemukan dimensi ritual dan sosial.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB