*Setyo Widagdo
Mengakhiri tahun 2025 dan memasuki tahun 2026, nampaknya situasi geo politik global masih akan diliputi dengan situasi uncertainty alias ketidak pastian, baik di bidang politik, ekonomi maupun perdagangan internasional.
Situasi internasional berada pada titik balik menuju tatanan multipolaritas yang semakin tidak stabil (insecurity as the new norm). Ketegangan antara blok-blok kekuatan besar semakin intensif, sementara isu-isu non-tradisional seperti perubahan iklim dan disinformasi menjadi risiko utama yang memicu ketidakpastian.
Pergeseran Menuju Multipolaritas
Lanskap global kini didominasi oleh persaingan antara dua blok utama yang semakin terfragmentasi, menantang hegemoni unipolar AS pasca-Perang Dingin.
Blok Barat yang selama ini dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Uni Eropa dan sekutunya di Indo-Pasifik (Jepang, Australia, Korea Selatan, Filipina) lebih fokus pada penguatan aliansi keamanan (NATO, AUKUS) dan dominasi teknologi, terutama semikonduktor.
Sementara itu Blok Timur/Global South (Tiongkok-Rusia) lebih fokus pada menguatnya kemitraan strategis antara Tiongkok dan Rusia, didukung oleh negara-negara seperti Iran dan Korea Utara. Blok ini aktif mempromosikan alternatif terhadap institusi Barat.
Sedangkan selain kedua blik utama tersebut terdapat Aliansi Non-Blok Baru (Global South Coalition) yang terdiri dari negara berkembang, termasuk Indonesia, blok ini lebih memilih posisi netralitas strategis. Mereka fokus pada kerja sama ekonomi, energi, dan digital, berupaya menghindari keterlibatan militer dalam persaingan kekuatan blok besar.
Persaingan blok-blok tersebut tidak lagi hanya di medan perang, tetapi bergeser ke ranah ekonomi dan teknologi. Namun demikian potensi terhadap konflik bersenjata seringkali tidak bisa dihindari dan menjadi risiko utama dan terus memburuk, memicu krisis kemanusiaan dan ekonomi.
Perang Dagang & Teknologi antara AS vs. Tiongkok adalah sebuah fakta bahwa kedua negara fokus pada kontrol sumber daya strategis, terutama semikonduktor dan teknologi AI. Hal ini memicu disrupsi rantai pasok global dan mendorong tren decoupling atau reshoring.
Belum lagi persoalan gawat yang lain yang masih akan terjadi di tahun 2026, yaitu resesi ekonomi global yang masih mengancam, diperparah oleh kebijakan moneter negara maju (tingginya suku bunga AS/The Fed), perang dagang, dan utang publik yang membengkak. Kemudian perkembangan pesat teknologi AI generatif menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah motor pertumbuhan, namun di sisi lain menjadi pemicu utama misinformasi dan polarisasi sosial, yang mengancam stabilitas domestik dan kepercayaan publik.
Dampak bagi Indonesia
Lantas apa dampak bagi Indonesia atas kejadian-kejadian diatas ?
Indonesia seringkali menghadapi dilema atas langkah kebijakan yang akan diambil, terutama dalam mengejawantahkan politik luar negeri. Dilema-dilema tersebut antara lain
- Dilema Netralitas Aktif : Indonesia, yang menjabat Ketua ASEAN pada tahun tertentu, harus cerdas mempertahankan prinsip politik luar negeri Bebas-Aktif agar tidak terseret ke dalam blok kekuatan mana pun.
- Ketergantungan Rantai Pasok : Ketergantungan tinggi pada Tiongkok untuk input industri (misalnya bahan baku elektronik) membuat Indonesia rentan terhadap gangguan pasokan akibat eskalasi konflik.
- Kesiapsiagaan Maritim: Peningkatan aktivitas militer di Laut China Selatan menuntut Indonesia untuk memperkuat pertahanan maritimnya, terutama di Natuna.
- Peluang Investasi: Perang dagang menciptakan peluang relokasi investasi (FDI) dari perusahaan yang ingin menghindari tarif tinggi, yang harus dimanfaatkan melalui insentif fiskal dan reformasi struktural.
Prediksi Situasi Geopolitik 2026
Gejolak ekonomi dan ketidakpastian geopolitik diprediksi akan terus berlanjut hingga 2026, bahkan diproyeksikan menjadi puncak ketidakpastian global. Ketegangan di berbagai kawasan akan terus berlanjut, misalnya di Timur Tengah, Indo Pasifik dan di kawasan Amerika Latin.
Ancaman Iklim di jangka panjang dan risiko lingkungan (cuaca ekstrem, kehilangan keanekaragaman hayati) tetap menjadi ancaman jangka panjang teratas yang akan memperparah krisis migrasi dan pangan di banyak wilayah.
PENUTUP
Tahun 2025 menandai penguatan fase transisi menuju tatanan dunia baru yang lebih kompleks, lebih berisiko, dan lebih terfragmentasi. Multilateralisme melemah, dan kepentingan nasional yang egois (proteksionisme) semakin mendominasi. Bagi Indonesia, kunci untuk bertahan dan unggul adalah dengan memperkuat otonomi strategis, melakukan diversifikasi rantai pasok, dan mempercepat reformasi struktural untuk menjaga ketahanan ekonomi domestik di tengah turbulensi global.(*)
* Penulis adalah Guru Besar Hukum Internasional Dan Pemerhati Geo Politik FHUB [email protected]










