Kanal24, Malang – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diharapkan menjadi intervensi nasional untuk menekan masalah gizi pada anak. Namun dengan skala distribusi yang mencakup jutaan penerima manfaat, regulasi yang kuat menjadi syarat mutlak. Regulasi tidak hanya mengatur mekanisme pembagian, tetapi juga memastikan ada standar yang melindungi keamanan pangan dan mutu gizi.
Eva Putri Arfiani, S,Gz., M.P.H., Dietisien., Ahli Gizi UB menegaskan kepada Kanal24 dalam wawancara online Jumat (21/11/2025) menegaskan, āKalau regulasinya lemah, implementasinya pasti timpang. Mutunya berbeda-beda antar daerah.ā
Baca juga:
Mendorong Transparansi Industri Ekstraktif Nasional

Standarisasi Tenaga Gizi di Setiap SPPG
Regulasi harus menetapkan dengan jelas berapa jumlah tenaga gizi minimal yang dibutuhkan dalam satu satuan penyelenggara. Angka rasio 1 ahli gizi per 2.000ā2.500 porsi dipandang hanya layak di atas kertas, sementara pelaksanaannya di lapangan jauh lebih kompleks. Tenaga gizi harus memastikan menu tersusun baik, proses dapur aman, bahan pangan tepat, serta distribusi sesuai jadwal.
āRasio itu tidak manusiawi kalau dilihat dari beban kerjanya,ā ujar Eva. Ia menekankan bahwa standarisasi harus dibuat realistis untuk menjamin keberlanjutan program.
Sertifikasi Keamanan Pangan dan Penguatan Pelatihan
Keamanan pangan harus menjadi fondasi utama. Karena itu regulasi harus mengatur kewajiban sertifikasi sanitasi pangan bagi tenaga yang terlibat. Mulai dari hygieneāsanitation, HACCP, hingga pelatihan manajemen penyelenggaraan makanan, semuanya harus masuk dalam regulasi agar setiap daerah memiliki standar minimal yang sama.
Eva menyampaikan, āSPPG tidak cukup hanya punya dapur. Mereka harus punya standar keamanan pangan yang bisa dipertanggungjawabkan.ā Dengan demikian, potensi KLB akibat makanan terkontaminasi dapat ditekan.
Evaluasi Mutu Pelayanan dan Ketahanan Pangan Lokal
Regulasi juga perlu memperkuat sistem monitoring dan evaluasi. Empat indikator yang harus dipantau adalah ketepatan porsi, daya terima anak, ketepatan distribusi, serta preferensi menu. Penilaian sederhana seperti emotikon pada anak SD dapat digunakan untuk menilai respons tanpa proses rumit.
Selain itu, pemanfaatan pangan lokal perlu masuk dalam aturan untuk mengurangi ketergantungan bahan dari luar daerah. āKalau pangan lokal dioptimalkan, biaya bisa turun dan ketahanan pangan meningkat,ā jelas Eva.
Regulasi MBG yang kuat memastikan program bukan hanya berjalan, tetapi juga berdampak nyata pada kesehatan anak. Dengan pengawasan tenaga gizi, sertifikasi keamanan pangan, dan evaluasi berkelanjutan, MBG dapat menjadi program nasional yang benar-benar melindungi generasi masa depan. (nid)









