oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu konsep komunikasi profetik dalam membangun hubungan interaksi yang harmonis antar manusia adalah memperkenalkan konsep rukhshah yang diambilkan dari nilai kelemahlembutan dan kasih sayang Tuhan kepada hambanya dalam menjalankan aturan perintahNya. Rukhshah adalah suatu keadaan penerimaan dari pembuat aturan kepada penerima atau pelaksana aturan dalam memahami, mengerti terhadap keadaan hambaNya dalam keterbatasannya melaksanakan aturan.
Rukhshah artinya sebuah keringanan, kemudahan atau kelonggaran dalam menjalankan suatu perintah karena suatu alasan sebab tertentu, sehingga pelakunya dapat memilih untuk tidak melakukan suatu kewajiban tertentu secara sempurna namun dapat digantikan dengan pilihan perintah lainnya. Rukhshah bukanlah keleluasaan untuk meninggalkan perintah melainkan sebuah perintah yang bersifat pilihan untuk tidak melakukan sesuatu sebagaimana mestinya dalam keadaan normal.
Sebagaimana dipahami bahwa sifat dari suatu aturan hukum adalah memaksa, yaitu berupa ketetapan yang wajib dilaksanakan oleh seorang hamba atas ketetapan dari Allah swt yang apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan siksa (punishment). Artinya aturan hukum adalah perkara yang harus dikerjakan oleh seluruh hamba karena Allah ‘Azza wa Jalla mengharuskannya sejak semula, inilah yang disebut dengan Azimah (berasal dari kata Azam yang artinya kuat, atau ada keinginan kuat untuk menegakkan). Namun dalam suatu keadaan tertentu suatu ketetapan yang awalnya bersifat memaksa tersebut dapat saja tidak dikerjakan karena suatu alasan tertentu yang juga telah ditetapkan oleh Sang Pembuat Aturan (asy syaari’) yaitu Allah swt dan pelakunya mendapatkan keringanan serta tidaklah berdosa apabila tidak melakukan secara sempurna pada umumnya.
Beberapa contoh rukhshah antara lain diperbolehkannya seseorang untuk tidak mengerjakan sholat dengan cara berdiri bagi orang yang sedang sakit, kemudian digantikan dengan cara duduk ataupun berbaring hingga cukup dengan gerakan mata. Demikian pula dengan kewajiban perintah puasa di bulan ramadhan bagi setiap orang beriman. Namun mendapatkan rukhshah atau keringanan untuk tidak mengerjakannya bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau sedang sakit untuk tidak mengerjakannya pada bulan ramadhan dan menggantinya pada waktu lain. Termasuk pula bagi orang yang usia sangat tua,cae wanita hamil dan menyusui dalam suatu keadaan tertentu.
Secara umum, rukhsah juga diberikan kepada beberapa kalangan di bawah ini karena suatu sebab sehingga dianggap tidak berdosa atas suatu tindakan yang dikerjakan. Sebagaimana dalam teks hadits :
أَخْبَرَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ وَقَدْ قَالَ حَمَّادٌ أَيْضًا وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ
Pena diangkat dari tiga orang, yaitu; orang yg tidur hingga terbangun, orang yg masih kecil hingga ia dapat bermimpi (baligh), & dari orang yg gila hingga berakal. Hammad berkata; Juga dari orang yg kurang akal hingga ia berakal. [HR. Darimi No.2194].
Termasuk pula dalam keringanan tindakan adalah tidak ditetapkannya suatu dosa pada orang yang tidak memiliki pengetahuan atas hal tersebut. Sebagaimana teks sumber wahyu berikut ;
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ عَمِلُواْ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٖ ثُمَّ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُوٓاْ إِنَّ رَبَّكَ مِنۢ بَعۡدِهَا لَغَفُورٞ رَّحِيمٌ
Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. An-Nahl, Ayat 119)
Fenomena rukhshah dalam memberikan keringanan aturan adalah bentuk kelembutan kasih sayang dan pengertian Allah swt atas hambanya yang memgalami kesulitan dalam memenuhi perintahNya sementara dirinya memiliki keinginan kuat untuk mengerjakan perintah namun terkendala oleh suatu keadaan tertentu yang memungkinkan tidak sempurna dalam melaksanakan perintah.
Rukhshah adalah suatu bentuk komunikasi simpati ilahiyah. Simpati adalah perasan belas kasih dan sayang atas kejadian yang menimpa seseorang. Sifat ini adalah sifat yang melekat pada Allah sebagai pemiliki utama sifat kasih sayang bahkan sifat ini selalu diletakkan dalam deklarasi kemanusiaan dikala seseorang akan mengawali suatu tindakan. Sebuah makna pesan bahwa Komunikasi profetik haruslah mengedepankan upaya-upaya simpatik dan empati pada siapa saja dari komunikan dalam seseorang berinteraksi. Komunikasi simpati haruslah mengawali dan mendahului dari komunikasi empatik.
Simpati adalah perasaan yang muncul dari dalam diri untuk mencoba memahami orang lain atas berbagai hal yang terjadi pada dirinya dengan menghadirkan perasaan kasih sayang, pengertian dan kelembutan. Simpati adalah kehadiran perasaan dalam diri. Sementara empati adalah wujud tindakan yang terimplementasikan dalam tindakan nyata berupa sikap dan tindakan menempatkan diri pada posisi orang tersebut (komunikan) dan kesediaan berbagi secara langsung atas persoalan yang dihadapi oleh orang lain (komunikan).
Seorang komunikator profetik haruslah memiliki sikap kelembutan dan kasih sayang dalam bersikap saat berkomunikasi dengan orang lain dengan mencoba memahami dan menempatkan diri sebagaimana kondisi komunikan sehingga komunikasi yang dilangsungkan akan semakin dekat secara psikologis dan budaya yang menjadikan komunikasi lebih efektif. Termasuk dalam kelembutan dan empati adalah kesediaan diri memaafkan atas tindakan kesalahan sebab ketidaktahuan, minimnya ilmu pengetahuan atas hal tersebut. Sikap memaafkan adalah wujud dari pengertian dan pemahaman atas keadaan tertentu pada orang lain. Kelembutan, pengertian, pemaafan adalah bentuk jiwa simpatik ketuhanan yang membumi pada jiwa manusia. Sikap simpati ini secara sempurna dipraktekkan oleh Rasulullah saw.
Sebagaimana riwayat dari Mu’awiyah bin Al-Hakam Al-Sulami mengatakan, “Ketika aku sedang shalat bersama Rasulullah , salah seorang jama’ah bersin. Aku mengucapkan. “Semoga Allah merahmatimu!” Orang-orang langsung melihat ke arahku. Aku katakan, ‘Celakalah aku! Mengapa kalian melihat kepadaku?’ Mereka memukul-mukulkan tangan ke paha mereka (memberi isyarat agar aku jangan bicara). Ketika aku menyadari mereka sedang berusaha menyuruhku diam, aku pun diam. Ketika Rasulullah selesai shalat; semoga bapak dan ibuku menjadi tebusan bagi beliau! Aku tidak pernah melihat guru yang lebih baik sebelum atau sesudah beliau; beliau tidak memarahiku, tidak memukulku, dan tidak mencelaku. Beliau bersabda, Percakapan biasa tidak cocok untuk shalat. Shalat hanya untuk mengagungkan Allah dan membaca Al-Qur’an’.
Imam An-Nawawi mengatakan: “Hadits ini menunjukkan adab mulia Rasulullah yang dipersaksikan Allah dalam Al-Qur’an, dan kelemahlembutan beliau terhadap orang yang tidak tahu, serta terhadap umatnya secara keseluruhan.” Hal ini memberikan arahan keteladanan sikap bahwa seorang komunikator selayaknya memahami betul keadaan komunikan sehingga pemahaman tersebut akan mengarahkan dirinya untuk bersikap atau merespon sebagaimana keadaan komunikan. Inilah komunikasi simpati ilahiyah yang harusnya dapat dibumikan oleh siapa saja yang menginginkan realitas interaksi harmonis.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB