Setiap yang bernafas pasti menjumpai kematian sebagai akhir dari perjalanan kehidupan dunia. Sebagai sebuah kepastian maka tidaklah perlu dikhawatirkan atas pertemuannya. Namun yang patut dipikirkan adalah apa bekal yang dipersiapkan oleh masing-masing diri menuju perpisahan jasad dengan ruh itu. Patutlah diketahui bahwa nilai kebaikan seseorang adalah terletak pada titik akhir saat waktu perpisahan itu. Apakah dalam keadaan terbaik (husnul khatimah) atau keadaan yang buruk (su’ul khatimah). Apakah orang merasa kehilangan dan sangat bersedih karena perpisahan itu atau orang merasa bersyukur dan bahagia atau biasa-biasa saja tanpa kesan apapun..?
Semua itu sangatlah ditentukan dari apa yang dilakukan dalam berinteraksi selama ini dengan kehidupan serta bagaimana pula wilayah berpikir yang bangun dalam mengkonstruksi orientasi dan peran yang dimainkan dalam kehidupan. Karena wilayah berpikir akan menentukan wilayah pengakuan diri seseorang. Kontruksi wilayah berpikir itulah yang akan mempengaruhi nilai kebermanfaatan yang dilakukannya selama ini. Sehingga wilayah dan rentang waktu pengakuan atas diri terbentuk dari wilayah berpikir dan jejak kemanfaatan yang digoreskannya.
Coba kita perhatikan, saat orang mendapatkan kabar kematiannya maka beragam macam respon yang disampaikan. Demikian pula beragam penghormatan dilakukan untuk mengantarkannya ke tempat peristirahatannya terakhir dan beragam cara dilakukan oleh masyarakat untuk terus mengenangnya dalam berbagai bentuk haul dan betapa banyak orang yang hidup pada suatu masa namun hanya ada beberapa nama yang bertahan dalam benak masyarakat bahkan nama-nama mereka diabadikan menjadi nama suatu tempat, jalan, gedung, atau bangunan lainnya. Semua itu adalah karena wilayah berpikir yang mereka konstruksi saat hidup dan meninggalkan jejak kebermanfaatan bagi kehidupan hingga melahirkan apresiasi atas eksistensi diri yang dianggap terus ada dan hidup.
Benarlah apa yang disabdakan oleh Nabi bahwa nilai kebaikan seseorang adalah ditentukan oleh nilai kebermanfaatan dirinya bagi sekitar sehingga akan terus diakui keberadaannya oleh kehidupan menjadi cerita yang turun temurun sebagai pencipta sejarah dan menjadi kebanggaan anak cucu keturunannya dan bangsanya. Itulah doa yang terus mengalir bagi mereka yang telah menjalani kehidupannya yang berdurasi pendek di dunia nyata dengan produktifitas dan kebermanfaatan. Mereka bukanlah orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri melainkan hidupnya didedikasikan untuk orang lain dan generasi setelahnya. Usia yang dijalaninya mungkin hanya dibatas maksimal ummat Muhammad antara 60 hingga 80 tahun, namun keberadaannya terus dikenang sebagai legenda yang terus hidup.
Soekarno, Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara, HAMKA hingga BJ. Habibie, telah mengajarkan kepada kita tentang hidup mulia yang tidak hanya berpikir untuk diri sendiri tapi hidup untuk masa depan kehidupan, hidup yang melampaui usianya dan masanya dengan mendedikasikan dirinya untuk masa depan dengan pikiran dan karyanya yang mampu menginspirasi generasi dan bangsanya untuk bangkit memperbaiki kualitas hidup dan membebaskan pikiran. Inilah prasasti yang tak lekang dimakan waktu yang mengantarkan para pelakunya berada dalam derajat kemuliaan.
Mari kita persiapkan kematian kita semenjak sekarang melalui tindakan dan amal prestatif dan produktifitas kita yang bisa kita hadiahkan untuk generasi masa depan dan kita dedikasikan untuk kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini dan ummat manusia dengan karya pikiran dan ilmu pengetahuan yang dapat mengantarkan pada terciptanya peradaban mulia yang mampu mengagungkan kebesaran Allah swt dalam ketaatan dan kecintaan padaNya hingga memperoleh ridhoNya.
Semoga kehidupan kita selama di dunia ini selalu dibimbing oleh Allah swt untuk terus dapat beramal shalih dan meninggalkan jejak kebaikan serta kemanfaatan bagi sesama. Selamat jalan para pencetak sejarah, selamat jalan Bapak BJ Habibie, semoga Allah swt menerima amal shalih dan meridhoiNya. Aamiiin….