KANAL24, Berita hadirnya kapal tentara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang mengawal nelayan mereka menjala (baca: mencuri) ikan di perairan Pulau Natuna menghentak rakyat Indonesia. Terlebih lagi, Negeri Tirai Bambu itu mengeluarkan pernyataan bila perairan di Laut China Selatan itu wilayah mereka dan tempat nelayan mereka melaut sejak dulu.
Peristiwa itu merupakan yang pertama kali setelah lepas dari penjajah, negeri “Zambrut Katulistiwa” ini diusik negara asing terang-terangan. Meskipun selama ini banyak nelayan asing yang mencuri ikan di peraian Indonesia secara sembunyi-sembunyi.
Tidak hanya rakyat. Pemerintah juga terkejut dan segera bereaksi. TNI mengirim pasukan ke Pulau Natuna, guna mengusir kapal-kapal asing itu. Menteri terkait segera membahas persoalan itu. Cukup serius memang, karena menyangkut kedaulatan bangsa. Tidak kurang, Menlu, Menhankam dan Menkopolhukam mengeluarkan pernyataan. Meskipun bahasanya berbeda, isinya sama. Indonesia mau bersahabat dengan negara manapun, terapi tidak mau diganggu.
Menko Polhukam, Prof. Dr. Machfud, MD usai menyampaikan orasi ilmiah di Dies Natalis ke 57 Universitas Brawijaya di Malang menegaskan, tidak ada negosiasi terkait kapal-kapal nelayan RRT itu.
Ketegasan Machfud itu didasari banyak faktor. Persoalan masuknya nelayan asing yang dikawal kapal tentara sudah terkait kedaulatan bangsa. Hak Indonesia atas batas zone ekonomi eksklusif (ZEE) di perarian Laut China Selatan sudah sesuai dengan Konfensi PBB tentang hukum laut internasional (UNCLOS) 1982.
Klaim RRT tentang laut itu sudah jadi perairan nelayan mereka sejak dulu, ditegaskan Machfud juga tidak berdasar. “Kalau boleh begitu, kita juga bisa mengatakan wilayah kita hingga Madagaskar, seperti masa Majapahit. Tapi begitu kan tidak boleh,” tambahnya.
Machfud juga mengatakan tidak takut atau khawatir jika terjadi konflik terbuka dengan RRT yang kini sedang “perang dingan” melawan Amerika Serikat dan sekutunya itu. Persoalan ini menjadi masalah internasional. “Jelas kita menolak, selanjutnya kita lihat nanti,” tambahnya.
Dalam persoalan Laut China Selatan dalam menghadapi RRT, rasanya bisa diyakini, Indonesia tidak sendirian. Sikap RRT yang ingin jadi raja di laut kaya ikan dan hasil bawah lautnya itu juga ditentang beberapa negara ASEAN, seperti Filipina, Brunai, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Mereka juga sudah punya hak atas laut itu, sedang RRT tidak berhak.
Tidak mudah memang berhadapan dengan salah satu negara adi daya saat ini. Jangankan Indonesia, Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Organisasi Pertahanan Atlantik Utara NATO dilawannya. Itu berarti negeri komunis terbesar di dunia itu yakin akan kekuatannya, baik secara ekonomi maupun militer.
Justru pada saat seperti inilah, pemerintah dan rakyat Indonesia, tentu termasuk TNI harus bersatu. Jangan sampai justru RRT menilai pemerintah dan rakyat tidak sehati dan memanfaatkan itu untuk kepentingan mereka.
Berbagai langkah perlu dilakukan secara bersamaan guna mencegah terganggunya kedaulatan bangsa dan negara. Ketegasan TNI menjaga teritorial wilayah Indonesia tentu menjadi langkah pertama yang benar dan harus dilakukan. Selanjutnya, Indonesia melalui jalur ASEAN, perlu membangun kekuatan bersama dengan negara-negara yang bermasalah dengan RRT dalam masalah Laut China Selatan secara diplomatik, guna menekan RRT agar tidak “bermain api” dilaut itu.
Bersama dengan negara-negara ASEAN itu, Indonesia perlu segera membawa masalah ini ke lembaga internasional. Jangan tunggu dan berlama-lama, karena mungkin saja justri memberi celah bagi RRT untuk masuk lebih dalam ke wilayah Indonesia.
Indonesia tidak suka perang, tetapi juga tidak mau diganggu. Dalam masalah ini, rakyat Indonesia seharusnya merasa terusik dengan peristiwa itu. “Rumah besar” kita diganggu, kedaulatan negeri kita ingin diusik. Sudah saatnya menyatukan hati dan menyamakan sikap, menolak semua bentuk usaha negara lain untuk mengganggu kedaulatan bangsa. Sang Proklamator Sukarno pernah mengemukakan, “kita bukan bangsa tempe”. Kinilah saatnya rakyat Indonesia dari hati paling dalam, didasari cinta tanah air, harus berteriak lantang dan tegas, “NKRI harga mati”.
Dr. Mondry Dosen Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya.