KANAL24, Jakarta – Perdagangan saham di bursa saham Indonesia, Jumat (11/10) lalu, ditutup dengan mencatatkan kenaikan ke level 6.105 setelah sempat turun ke 5.988 pada pertengahan pekan, atau naik 0,73% dibanding pekan sebelumnya. Bursa ekuitas mengalahkan pasar obligasi, meskipun terjadi arus keluar dana investor asing modal dari bursa saham senilai USD67 juta. Sementara arus masuk dana investor asing ke pasar obligasi mencapai US215 juta (hingga Kamis).
Pergerakan di pasar modal global sepanjang pekan lalu, antara lain dipengaruhi oleh pernyataan optimistis Washington dan Beijing menjelang perundingan di Washington pada akhir pekan. Rencana Brexit yang berlarut-larut juga mendapatkan titik terang pasca pertemuan PM Inggris dann PM Irlandia.
Selain itu, rilis indeks harga konsumen AS periode September yang tidak berubah di angka 1,7% dan rilis risalah rapat kebijakan Federal Reserve pada Septermber lalu, menumbuhkan harapan akan penurunan suku bunga pada rapat selanjutnya.
Dengan mengacu kepada perkembangan di bursa saham global dan dalam negeri, PT Ashmore Asset Management Indonesia, mengajukan beberapa hal berikut untuk dipertimbangkan dalam transaksi di pasar modal pada pekan ini, sebagai berikut.
Apa yang terjadi dengan saham blue chips Indonesia?
Menurut Ashmore, setelah berlari cepat pada 2017 lalu, dalam hampir dua tahun terakhir saham-saham blue chips berada dalam tekanan, baik secara global karena perang perdagangan dan secara lokal karena tantangan sektoral. “Akibatnya, IHSG terseret turun dengan hasil negatif 6,2% sejak akhir tahun 2017, karena 45 saham paling likuid dalam indeks LQ45 turun 16,3% selama periode yang sama,” tulis Ashmore dalam Weekly Commentary , Jumat (11/10/2019).
Apa yang terjadi secara fundamental?
Terlepas dari masalah sektoral (yaitu: masalah cukai rokok dan pajak, masalah persaingan di industri otomotif), Ashmore menilai bahwa pertumbuhan laba per saham (EPS) kapitalisasi besar Indonesia tetap sehat, terutama dengan latar belakang global yang ada. “Gabungan pertumbuhan EPS LQ45 tahun 2017-18, secara agregat mencapai 22%, dan pada paruh pertama 2019 (1H19) sebanyak 4% dengan ekspektasi akan tumbuh sebesar 12% pada tahun 2020, menurut perkiraan Bloomberg,” catat Ashmore.
Titik masuk yang menarik
Penurunan harga saham blue chip secara konsisten , meskipun pertumbuhan laba tetap stabil, mendorong turun valuasinya hingga mencapai 14.9x pada pekan ini. “Tingkat yang belum pernah kita lihat sejak 2016. Menurut kami, ini merupakan titik masuk yang menarik untuk segmen blue chips , karena penilaian jangka panjang rata-rata untuk LQ45 adalah 16,6x, memungkinkan kenaikan 11,4%,” ungkap Ashmore.
Oleh karena itu Ashmore merekomendasikan untuk menambahkan dana ke saham-saham blue chips , khususnya selama sisia tahun ini. “Kami menilai bahwa data laba perusahaan kuartal III-2019 yang akan datang, demikian pula data makro Indonesia serta pengumuman kabinet dapat berfungsi sebagai katalis di pasar.” (sdk)