KANAL24, Saat ini kita sudah masuk bencana komunikasi. Data dari kemenkominfo pada awal tahun menyebut ada 800 ribu situs penyebar hoaks di Indonesia. Bahkan, jumlah hoaks pada Januari 2019 lebih banyak daripada total hoaks selama 2018. Situasi ini perlu mendapat perhatian untuk segera diatasi mengingat sebaran hoaks terbanyak berasal dari media social dan 56% masyarakat menggunakan media sosial. Badan Intelijen Negara merilis bahwa 60% konten media sosial adalah hoaks.
Jika tidak diatasi segera, bencana komunikasi ini bisa menstimuli terjadinya bencana sosial karena kecepatan informasi yang luar biasa hanya dengan sekali “pencet tombol handphone”. Kasus kerusuhan di Jayapura dan Wamena adalah warning terkait hal ini. Untungnya, belum menjadi epidemic bencana social karena pemerintah mampu melokalisasi untuk tidak meluas.
Saat ini jumlah handphone, menurut data Januari 2019, telah lebih dari jumlah populasi Indonesia. Terpaan informasi pun begitu mudah diakses lewat genggaman HP dan informasi bersifat repetisi, Kondisi ini makin mempertegas temuan riset Kemenkominfo dan Ditjen Kebudayaan bahwa semua orang bisa berpotensi menjadi korban informasi hoaks. Bahkan makin tinggi pendidikan kecenderungan terpapar hoaks makin besar. Salah satunya karena pengaruh afiliasi kepentingan politik tertentu.
Bencana komunikasi ini muncul akibat paradoks internet dan media sosial. Di satu sisi, digitalisasi mendorong menuju terbentuknya masyarakat informasi, yakni memiliki kesadaran informasi yang tinggi, mengandalkan informasi dalam segala bidang kehidupan sehingga mampu mengolah dan memanfaatkan informasi secara efektif dan efisien untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas kerja.
Artinya, masyarakat informasi adalah masyarakat yang menjadikan teknologi untuk ber-daya saing global. Pergerakan manusia semakin cepat dan meluas, mudah berbagi informasi untuk pengambilan keputusan secara cepat, transaksi online, dan membuka lapangan kerja baru adalah buktinya.
Tetapi, di sisi lain, digitalisasi juga telah mendorong kita hanya sebagai user atau konsumen semata dan menjadi traffic bagi penyebaran hoaks. Penyebaran konten-konten ujaran kebencian, fitnah, bullying hingga adu domba merupakan ancaman bagi kesatuan bangsa dan merenggangkan ukhuwah (kebersamaan) sesama anak bangsa. Komunikasi virtual pun menyebabkan kharakter ewuh pakewuh telah tereduksi tajam.
Indikatornya sudah terjadi saat terbaginya komponen bangsa ke dalam dikotomis “cebong” dan “kampret” selama pilpres 2019. Data dari kemenkominfo memperkuat hal ini, yakni jumlah hoaks dan ujaran kebencian terbanyak pada Maret dan April (saat-saat puncak pilpres 2019). Meski motif bisa bermacam-macam, termasuk perang ideologi pengusung daulah Islamiyah (Khilafah), neo-liberalis, komunisme, dan sosialis-demokratis, bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet bisa membawa gerbong pendukungnya. Asumsinya, sumber hoaks bisa dikarenakan sifat oposisi kepada penguasa.
Dalam konteks inilah, Hari Santri Nasional dan Sumpah Pemuda menjadi tonggak penting mereduksi konten negative media sosial yang mengancam ukhuwah bangsa. Santri adalah setiap kita yang menuntuk ilmu dengan basis adab agama dan adab nusantara. Semangat ini harus menjadi basis bagi santri dan semua elemen bangsa untuk menjadi aktor cyber-army mendiseminasikan pesan-pesan agama dan kebangsaan di media sosial.
Aliran pesan-pesan agama dan kebangsaan ini harus dilakukan terus-menerus dan berkesinambungan sebagai counter-information dan counter-argument bagi pesan-pesan disintegrasi dan radikalisme. Peran ini sangat penting karena data menunjukkan bahwa 40% pengguna media sosial belum bisa membedakan antara informasi hoaks dan bukan.
Rachmat Kriyantono, PhD
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UB, Lulusan School of Communication Edith Cowan University Australia