oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Konsep pelayanan publik menurut para ulama klasik adalah merupakan tugas dan tanggungjawab utama kepemimpinan dalam islam. Sebagaimana dalam konsep yang terkenal menyatakan, “sayyidul qaum khaadimuhum”, pemimpin suatu masyarakat adalah sebagai pelayan bagi mereka. Kepemimpinan termanifestasikan dalam tindakan pelayanan bagi rakyat yang dipimpinnya. Tanpa ada pelayanan maka tak ada kepemimpinan. Karena Kepemimpinan adalah kesediaan untuk melayani dan menjadi fasilitator pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Kisah populer dalam kepemimpinan Islam adalah ditampilkan oleh sayyidina Umar bin Khattab pada saat melakukan inspeksi di malam hari keluar dalam rangka memeriksa situasi rakyatnya. Ia melihat sebuah rumah bersahaja yang manarik perhatian. Ia mendekat, lalu terdengarlah rintihan seorang wanita di dalam, sementara seorang lelaki tengah duduk tertegun. Ia lalu mendekati lelaki itu dan menanyakan tentang penyebab rintihan si perempuan. “Ia tengah melahirkan,” jawab lelaki. “Tidak ada orang yang menemaninya?” tanya Umar. “Tidak ada.” Umar bergegas pulang. Sesampai di rumah, ia menemui Istrinya, Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib. “Engkau mau pahala yang Allah bakal diberikan?” tanya Umar.
“Apa itu?” jawab Ummu Kaltsum. “Seorang wanita sedang melahirkan dan tidak ada seorang pun disampingnya”. “Jika mau boleh?” Tanya Ummu, Kaltsum, “Baik. Siapkanlah segala sesuatu yang dibutuhkannya, lalu ambilkan kuali dan beberapa biji gandum, “perintah Umar. Dengan membawa kuali, Ummu Kaltsum Ikuti langkah Umar hingga di rumah si perempuan.” Masuklah dan temui perempuan itu,” suruh Umar kepada Ummu Kaltsum. Lalu, “Dan kamu, nyalakan api untukku !!” perintah Umar kepada lelaki yang duduk semenjak tadi. Ia pun mengerjakannya. Umar sibuk mewadahi gandum di kuali lalu menyalakan api di tungku hingga asap mengepul hingga gandumnya matang. Beberapa saat kemudian lahirlah bayi.
Ummu Kultsum berkata,” Beritahu dia bahwa anaknya telah lahir, wahai Amirul Mukminin! “Begitu si lelaki mendengar kata” amirul mukminin “disebut, ia tersipu malu.” “Duhai, alangkah malunya aku kepada Amirul Mukminin, demikian inikah engkau melakukannya seorang diri?”, katanya kemudian.
“Wahai saudaraku orang Arab, barangsiapa diberi tanggung jawab mengurus persoalan kaum Muslimin, ia seharus nya memeriksa urusan mereka, baik yang remeh maupun yang besar, karena ia akan mempertanggungjawabkannya.” Jika ia sia-siakan, rugilah dunia dan akhirat, “kata Umar menasihati.
Inilah semangat melayani seorang pemimpin. Karena sejatinya pemimpin adalah seorang pelayan bagi rakyatnya.
Pemimpin dalam islam bertanggungjawab untuk menciptakan suasana pelayanan publik yang baik dan dirasakan manfaat bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan yang dibuat lebih mementingkan kebutuhan masyarakat sehingga perlu seringkali mendengarkan keluhan dan kebutuhan mereka. Untuk itu perlu ada sebuah mekanisme inovatif agar masyarakat dapat menyampaikan secara terbuka berbagai keluhan mereka. Untuk itu dalam kaidah fikih disebutkan “Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin harus selaras dengan kemaslahatan). Dengan kata lain kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin haruslah pro rakyat. Janganlah seorang pemimpin berlaku adigang adigung adiguno dengan kekuasaannya sehingga kebijakan yang dibuatnya malah menyengsarakan rakyat. Bahkan kebijakan dibuatnya hanya untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya semata dengan menggadaikan kepentingan rakyat dan menjauhkan dari kesejahteraan yang harusnya diwujudkan bagi mereka.
Setiap kebijakan kepemimpinan haruslah mengacu pada tanggungjawab untuk mensejahterakan rakyat melalui kegiatan pelayanan publik yang penuh kemudahan, kenyamanan, kecepatan dan mampu memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Karena hanya dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat serta semangat melayani untuk kepentingan rakyat sajalah bahwa kesejateraan akan terwujud serta mendapatkan dukungan penuh dari rakyatnya.
Sementara pemimpin yang tidak mau peduli akan rakyatnya dan pelayanan publik tidak dilakukan dengan tanggungjawab disertai komunikasi layanan yang buruk dengan cara intimidatif dan coorsive power maka sebenarnya pemimpin yang demikian jauh dari idealitas kepemimpinan pelayanan publik yang baik. Karena pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki kepedulian yang tinggi atas nasib rakyatnya, penuh tanggungjawab, memiliki keterampilan komunikasi yang baik, serta memiliki motivasi yang tinggi dalam mensejahterakan rakyatnya melalui kebijakan dan komunikasi pelayanan publik yang berpihak (pro) pada rakyat dan menjadikan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Untuk itulah jiwa mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pelayan publik adalah semangat melayani untuk masyarakat.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB