Kanal24, Malang – “Model Inklusif Smarthealth Sebagai Inovasi Layanan Kesehatan Primer” menjadi gagasan utama yang dipaparkan Prof. Sujarwoto, S.IP., M.Si., Ph.D saat dikukuhkan sebagai Profesor ke-269 Universitas Brawijaya (UB) pada Kamis (21/08/2025). Inovasi ini lahir dari keprihatinan terhadap tingginya angka kematian dan kecacatan akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia, yang sesungguhnya dapat dicegah melalui deteksi dini faktor risiko dan layanan kesehatan primer yang lebih terintegrasi.
Tantangan Besar Layanan Kesehatan di Indonesia
Dalam dua dekade terakhir, penyakit jantung dan kardiovaskular selalu menempati posisi lima besar penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia. Tingginya prevalensi hipertensi, diabetes, dan kadar kolesterol yang tidak terkontrol menjadi faktor risiko utama. Sayangnya, sistem kesehatan nasional masih lebih menekankan aspek kuratif—mengobati setelah penyakit muncul—daripada aspek promotif dan preventif yang justru lebih murah dan efektif.
Baca juga:
UB Forest Jadi KHDTK Teladan, KLHK Beri Penghargaan Wana Lestari 2025
Puskesmas sebagai garda depan layanan kesehatan primer memiliki peran vital dalam deteksi dini serta pengendalian faktor risiko. Namun, kenyataannya layanan di lapangan sering terfragmentasi. Banyak pasien berisiko tinggi tidak terpantau secara rutin, bahkan ada yang tidak mendapat pengobatan sama sekali. “Selama ini, layanan kesehatan primer kita masih parsial. Orang yang punya tekanan darah tinggi atau diabetes tidak terpantau secara berkesinambungan. Akibatnya, ketika mereka sampai ke rumah sakit, kondisinya sudah parah,” ujar Prof. Sujarwoto dalam pidato pengukuhannya.
Smarthealth: Jawaban Inovatif dari UB
Menjawab tantangan tersebut, Prof. Sujarwoto mengembangkan Systematic Medical Appraisal Referral and Treatment (SMARThealth), sebuah platform digital yang dirancang untuk memperkuat layanan kesehatan primer. Smarthealth mengintegrasikan deteksi dini, sistem rujukan, hingga pemantauan pasien secara berkelanjutan dengan melibatkan peran komunitas.
Model ini memanfaatkan pendekatan manajemen pelayanan publik berbasis nilai (value-based public management) untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih adil dan inklusif. “Model lama terlalu berorientasi pada pengobatan, padahal yang dibutuhkan adalah pencegahan dan keterlibatan masyarakat. Dengan Smarthealth, kita bisa mencegah penyakit sebelum menjadi parah sekaligus menghemat biaya kesehatan negara,” jelasnya.
Fitur utama Smarthealth antara lain:
- Deteksi dini berbasis komunitas untuk mengidentifikasi risiko hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung.
- Sistem rujukan terintegrasi agar pasien cepat mendapat akses pengobatan lanjutan.
- Pemantauan berkelanjutan sehingga pasien berisiko tetap terkontrol sepanjang hidupnya.
- Pelibatan masyarakat sebagai aktor aktif dalam menjaga kesehatan warganya.
Dari Kuratif ke Preventif
Smarthealth dirancang untuk menggeser paradigma layanan kesehatan di Indonesia. Selama ini, masyarakat lebih mengenal layanan kesehatan ketika sakit, bukan saat sehat. Padahal, sebagian besar penyakit kronis bisa dicegah bila faktor risikonya terkelola sejak dini.
“Default ilmu kedokteran adalah bagaimana mengobati pasien yang sudah sakit. Namun, dari perspektif administrasi publik, kita bertanya bagaimana layanan publik bisa dirancang agar orang tidak jatuh sakit sejak awal. Inilah yang coba kami hadirkan melalui Smarthealth,” papar Sujarwoto.
Dengan sistem ini, pasien dengan risiko penyakit jantung, diabetes, atau hipertensi dapat memperoleh pengobatan berkelanjutan seumur hidup. Hal tersebut dinilai penting mengingat penyakit kronis umumnya membutuhkan pengobatan jangka panjang yang tidak boleh terputus.
Potensi Luas Pengembangan
Keberhasilan Smarthealth dalam menangani penyakit kardiovaskular membuka peluang untuk dikembangkan pada penyakit tidak menular lainnya. Saat ini, Smarthealth mulai diarahkan untuk menangani diabetes, penyakit paru, preeklamsia pada ibu hamil, hingga masalah kesehatan mental.
Integrasi dengan sistem nasional pun tengah dijajaki. Jika berhasil, Smarthealth bisa menjadi bagian dari strategi transformasi digital kesehatan di Indonesia yang tengah digalakkan pemerintah. Langkah ini akan menempatkan UB di garda depan inovasi kesehatan digital berbasis komunitas.
Peran Ilmu Administrasi dalam Kesehatan
Menariknya, inovasi ini bukan lahir dari Fakultas Kedokteran, melainkan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) UB. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen publik memiliki kontribusi besar dalam mendesain sistem kesehatan yang lebih efektif.
“Pelayanan kesehatan adalah bagian dari pelayanan publik. Ilmu administrasi publik mengajarkan bagaimana layanan bisa dirancang agar inklusif, terjangkau, dan berkeadilan. Dengan Smarthealth, kami ingin menunjukkan bahwa inovasi kesehatan tidak melulu soal medis, tetapi juga soal manajemen sistem,” ungkapnya.
Pengukuhan dan Kontribusi UB
Pengukuhan Prof. Sujarwoto menambah deretan guru besar aktif di Fakultas Ilmu Administrasi menjadi 16 orang, serta menambah jumlah profesor UB menjadi 438 orang. Ia tercatat sebagai profesor ke-269 dalam sejarah UB, menandai kontribusi berkelanjutan universitas dalam melahirkan akademisi dan peneliti yang berpengaruh.
Rektor UB dalam sambutannya menegaskan bahwa pengukuhan ini bukan hanya pengakuan akademis, tetapi juga sebuah momentum penting bagi universitas untuk terus melahirkan solusi nyata bagi bangsa. “Smarthealth adalah contoh nyata bagaimana riset bisa menjawab masalah riil masyarakat. UB bangga memiliki Profesor Sujarwoto yang karyanya berdampak luas,” ujarnya.
Baca juga:
Prof. Siti Asmaul Mustaniroh Kembangkan Model SIPS-KUMKM untuk UMKM
Menegaskan Peran Perguruan Tinggi
Dengan hadirnya Smarthealth, Universitas Brawijaya kembali menegaskan perannya sebagai pusat riset lintas disiplin yang memberikan kontribusi nyata pada pembangunan nasional. Inovasi ini tidak hanya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, tetapi juga membuka jalan bagi reformasi sistem kesehatan di Indonesia.
“Smarthealth menunjukkan bahwa riset yang berpijak pada kebutuhan warga dapat melahirkan inovasi publik yang inklusif, adaptif, dan berdampak luas,” tutup Prof. Sujarwoto. (nid/yor)