KANAL24, Malang – Diperlukan adanya sosialisasi pemahaman tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini menyikapi kejadian akhir-akhir ini terkait persoalan beberapa RUU yang digarap oleh DPR. Demikian pernyataan Prof. R. Benny Riyanto, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada seminar nasional di FH UB hari ini (16/10/2019)
“Selama ini kalau berbicara peraturan perundangan kan sudah clear dan selama ini sudah dijalankan dengan baik melalui dasar adanya UU No.12 tahun 2011 mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun sekali lagi karena ini merupakan tahun politik sehingga yang paling “seksi” untuk bisa dipermasalahkan adalah persoalan regulasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, harus diberikan sosialisasi pemahaman yang clear kepada masyarakat, bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimanapun tidak ada yang mendadak. Ada statement yang menyesatkan bahwa dalam kurun waktu 14 hari UU sudah bisa lahir, sebetulnya dalam perencanaan suatu UU melalui mekanisme yang namanya Prolegnas, itu sudah diatur didalam UU No. 12 Tahun 2011 tadi.
Prolegnas ada 2 jenis, yakni Prolegnas jangka menengah 5 tahunan dan Prolegnas prioritas tahunan. Akhir tahun ini, merupakan masa transisi karena harus menyelesaikan Prolegnas jangka menengah 2015-2019 dan harus sudah membuat untuk menetapkan bersama dengan DPR dan DPD, Prolegnas jangka menengah 2020-2024 serta satu bulan kedepan harus sudah digedok di DPR. Sehingga RUU yang akan masuk dalam 5 tahun mendatang bisa direncakana mulai sekarang.
“Tidak mungkin UU lahir sekonyong-konyong itu. UU KPK sebetulnya sudah masuk didalam Prolegnas, namun sering kali pembahasannya pasang surut. Ada momen dan kebutuhan mendesak yang diprioritaskan, memang kadang-kadang bisa bergeser. Akan tetapi, yang jelas KUHP dan RUU pemasyarakatan sudah ada didalam Prolegnas 2015-2019,” papar Benny.
Semua pihak bukan hanya DPR, disaat masa-masa injury time mendekati purna, pasti ingin membuat suatu legacy prestasi yang bisa dilihat banyak orang. Sebetulnya, memang kurang ideal karena planning harus jelas. Harusnya selama 5 tahun, yang diprioritaskan tiap tahun UU apa itu harus jelas.
Pemerintah dan DPR sudah punya planning untuk membuat sosialisasi terhadap UU baru yang akan diterbitkan, walaupun sebenarnya di Kemenkumham dalam hal ini BPHN mengelola penyuluh hukum Indonesia. Penyuluh hukum ini fungsinya untuk memberikan sosialisasi terhadap UU yang baru dilahirkan. Ini adalah upaya untuk mengakselerasi pembentukan peraturan perundang undangan.
Selain itu, Benny menambahkan terkait soal potensi revisi KUHP, Ia bersama tim RUU KUHP menyelesaikan akomodasi dari beberapa kritik.
“Ada 14 poin masukan, sudah mulai kita sisir. Kemarin kita mulai kerja di Bali, ada beberapa penghalusan norma, beberapa hal yang disempurnakan, dsb. Tapi, saya ingatkan seringkali dunia medsos sifatnya tidak keseluruhan objektif, sehingga seringkali hal-hal yang dilansir dipotong-potong,” terangnya.
Benny mencontohkan poin yang dipersoal dalam KUHP adalah perempuan pekerja malam dan menggelandang bisa dipidana atau denda 1 juta. Sekarang KUHP hanya ada 2 buku, untuk memahami buku dua yang terkait peraturan norma harus paham buku satu terlebih dulu.
“Sekarang ini buku satunya tidak dibaca, tetapi langsung tertuju pada buku dua. Padahal didalam buku satu ada alasan pembenar dan alasan pemaaf, disitu sudah jelas siapa yang dimaksud menggelandang. Kondisi itu, saya katakana makanya pembangunan industri 4.0 ini bisa menjadi pisau bermakna 2. Kalau dimaknai positif akan bermanfaat dan sebaliknya. Marilah kita bersam-sama menyikapi kemajuan secara bijaksana,” pungkas mantan dekan FH UNDIP tersebut. (meg)