KANAL24, Malang – Pandemi Corona di Indonesia bukan hanya dihadapkan pada persoalan kesehatan dan ekonomi, tetapi ada isu sosial yang juga menjadi persoalan.
Dalam beberapa hari setelah virus tersebut masuk di Indonesia, muncul kasus tentang penolakan pemakaman jenazah pasien Corona di beberapa daerah seperti di Makasar, Tasikmalaya, Bandung, Lampung, dan Medan. Selain itu, penolakan juga terjadi pada tenaga medis perawat pasien Covid-19 yang ingin pulang ke rumahnya.
Disamping terjadinya penolakan, muncul stigmatisasi yang ditujukan kepada mereka yang mengalami gejala flu atau batuk meskipun belum dinyatakan Covid-19.
Merespon fenomena ini, pakar sosiologi FISIP Universitas Brawijaya, Genta Mahardhika Rozalinna, S.Sos., M.A mengatakan penolakan dan stigma dari masyarakat tersebut tidak bisa dianggap semuanya salah masyarakat.
“Saya melihat, ketika virus ini masuk ke Indonesia, yang ditampilkan adalah bagaimana pencegahan penyebaran virus dan penanganan sesudahnya atau dari sisi kesehatan. Tetapi edukasi bahwa kita harus siap menghadapi atau menerima situasi ketika pasien Covid-19 ini tidak bisa sembuh dan meninggal, ini belum ada. Memang benar, edukasi soal kesehatan dilakukan kepada masyarakat saat terjadi wabah virus seperti ini, tetapi jangan dilupakan soal dampak setelahnya, itu yang juga harus diperhatikan. Akhirnya kita tidak bisa menyalahkan masyarakat jika masyarakat sangat panik atau takut nantinya ketularan,” kata Genta, Rabu (1/4/2020) malam.
Sebenarnya, sosialisasi memang sudah dilakukan oleh beberapa pimpinan daerah, tetapi itu hanya berhenti di level pimpinan saja belum menyentuh lingkup kehidupan masyarakat. Harusnya, ketika ada kasus pasien yang meninggal, jajaran pemda melakukan diskusi dengan dinas-dinas terkait, seperti kalau di Kota Malang ada Dinas Pertamanan Bagian Pemakaman untuk mengurus persoalan ini dengan dengan benar.
Terkait dengan stigmatisasi, ini memang kejadian yang luar biasa yang mungkin tidak hanya Indonesia yang mengalami persoalan stigma ini, kemungkinan negara lain juga mengalaminya. Indonesia belum memiliki mitigasi yang baik ketika yang dihadapi adalah wabah penyakit bersifat global.
Belum lagi kondisi geografis Indonesia juga cukup menyulitkan untuk bisa mengontrol bagaimana mobilitas orang. Beda dengan negara lain yang tidak seluas Indonesia yang mana kontrolnya lebih mudah.
“Ketakutan muncul secara berlebihan karena bagaimana ciri-ciri dari orang yang terkena corona belum tersampaikan secara menyeluruh. Kita belum memiliki sistem yang bisa melacak siapa saja yang berpotensi corona. Kepanikan juga muncul akibat daya literasi yang kurang, jadi informasi yang tidak karu-karuan, berita hoaks muncul dan menjadi konsumsi masyarakat. Ketakutan, kepanikan, stigma muncul karena ini bagian dari self care masing-masing individu,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini Pemerintah sedang bertahap untuk membuat berbagai aturan. Pemerintah sambil mengikuti ritme dari Corona yang ada di Indonesia, bisa dilihat dari aturan bekerja di rumah yang diperpanjang sampai 21/4/2020. Saat ini, bukan hanya soal kesehatan dan ekonomi saja yang diperhatikan, tetapi persoalan sosial juga sangat penting untuk menjadi perhatian Pemerintah. (meg)