Kanal24, Malang – Pasca pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM, nilai inflasi di Indonesia mencapai titik 6,8%. Merespon hal tersebut, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, dalam keterangan tertulis di Jakarta (5/9/2022) meminta kepala daerah mengawasi penggunaan Dana Desa untuk mengendalikan potensi inflasi di desa pasca harga bahan bakar minyak (BBM) naik.
Selain itu, Mendes PDTT juga meminta kepala daerah percepat transformasi Unit Pengelola Kegiatan (UPK) menjadi BUMDes Bersama (BUMDesma) dikarenakan terdapat dana Rp12,7 triliun dari aset UPK lama yang bisa segera digunakan BUMDesma untuk meningkatkan ketahanan pangan. Sehingga harga komoditas lebih terkendali dan stabil.
Sosiolog Ekonomi dan Kelembagaan, Dr. Ahmad Imron Rozuli, SE., M.Si., berpendapat bahwa penggunaan Dana Desa sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi dirasa kurang tepat. Berdasarkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, rekognisi atau pengakuan atas Desa dapat dibantu melalui anggaran sehingga pembangunan lebih merata.
“Nah, definisi pembangunan ini kemudian di sederhanakan menjadi pembangunan fisik, infrastruktur, sarana jalan, saluran irigasi pertanian, dan yang berkaitan dengan sarana prasarana setempat. Kedua untuk program pemberdayaan, pemberdayaan masyarakat yang diharapkan dari situ itu ialah pertumbuhan, tidak hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga sosial, dan budaya,” Imron menjelaskan kepada Kanal24 (7/9/2022).
Menurutnya, bergesernya penggunaan Dana Desa untuk mengendalikan inflasi tidak terlalu diperlukan karena terdapat dana cadangan desa yang peruntukannya adalah untuk hal darurat yang jika digunakan dalam upaya pengendalian harga semestinya disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing.
Agar dapat bertahan dari inflasi dan mengendalikan harga menurutnya, pemerintah harus mulai dari rantai pasokan.
“Contoh begini, kalau peternak harga telor sekarang Rp30.000, sebelumnya di mereka itu tidak Rp30.000, Rp23.000 begitu ya. Nah, Rp7.000 ini adalah biaya transaksi yang muncul dalam proses mulai dari peternak sampai di konsumen,” terangnya.
“Desa itu kan basis produksi, kalau kemudian dana desa digunakan untuk mengendalikan inflasi menurut saya agak keliru begitu, konteksnya tidak disitu, tapi ditengahnya mestinya, yang diproses distribusinya ini, peran negara seharusnya mengambil posisi untuk pengendalian kenaikan harga, yang dapat mendorong terjadinya inflasi,” imbuhnya.
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) ini juga mengungkapkan bahwa masih terdapat campur tangan tengkulak yang bermain terhadap harga bahan pokok di desa.
“Bagaimana mau mengendalikan harga di desa? Tidak mungkin. Karena yang bermain disitu adalah tengkulak. Mau ke pertanian juga para tengkulak, mau ke peternakan juga para tengkulak,” ungkapnya.
Menurutnya, lebih dibutuhkan partisipasi aktif dari berbagai lembaga yang terkait dengan urusan ketahanan pangan dalam negeri, Bulog misalnya.
“Negara punya misalkan badan usaha logistic, Bulog, katakanlah kebutuhan primer mendasar itu kemudian negara yang kemudian mengatur harga dan lain-lain, mereka (Bulog) yang menyederhanakan,” tuturnya.
Menurut Imron, pengalihan asset UPK untuk dialokasikan pada BUMDesma akan lebih efektif jika digunakan untuk menata rantai distribusi dari produsen hingga konsumen.
“Maka kemudian bagaimana mengendalikan inflasi dengan kaitannya dengan dana desa tadi, kaitannya dengan dana yang dihimpun oleh teman-teman PNPM dulu yang kemudian berhimpun untuk membentuk BUMDesMa, itu sudah wacana lama, tapi sulit terwujud sampai hari ini, yang BUMDesMa inisiasi dari UPK nya PNPM dulu itu,”
Insentif anggaran dengan fokus food security (ketahanan pangan), pendataan terkait kepemilikan lahan desa, hingga jumlah pasokan yang presisi, menurut Imron akan jauh lebih membantu.
“Kalau semua desa itu datanya presisi maka sebetulnya itu akan kelihatan kok arahnya produk itu kemana larinya. Sehingga apakah betul pasar ini sebetulnya, harganya siapa yang mengendalikan, misalnya, kelihatan itu,” katanya.
Imran juga mengungkapkan bahwa masih ada praktik penyalahgunaan anggaran yang menjadi hambatan utama pembangunan desa.
“Tidak bisa digebyak uyah semuanya memang begitu ya, ada banyak yang kemudian mereka bisa mengembangkan. Tetapi yang lebih banyak adalah itu. Masyarakat itu jadi penonton, lupa bahwa desa itu adalah kesatuan hukum masyarakat, bukan pemerintah. Maka yang berhimpun secara hukum itu masyarakat, yang punya kewenangan itu siapa, masyarakat sebetulnya. Tapi selama ini mungkin agak salah sehingga pemerintah desa yang lebih banyak peran utamanya,” kata Imron.
“Mestinya, pemerintah desa itu menjadi fasilitator, tapi selama ini lebih banyak mengatur kan akhirnya. Sehingga ini yang justru tidak banyak bisa diharapkan dari proses-proses yang kemudian menggulirkan DD maupun ADD yang sudah sekian ratus triliun mungkin ya sudah meluncur di desa,” imbuhnya. (din)