Kanal24, Malang – Indonesia, negara yang kaya akan sumber daya alam, masih menghadapi ironi besar dengan jutaan nelayannya yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini disoroti oleh profesor yang baru dikukuhkan dalam bidang ilmu perikanan, Prof. Dr. Ir. Edi Susilo, MS. Sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan nelayan di Indonesia, ia mengenalkan konsep baru yang disebut Struktur Sosial Progresif-Integratif (S2PI).
“Konsep baru yang kami tawarkan untuk mengurangi kemiskinan nelayan di Indonesia ini adalah hasil dari penelitian mendalam dan kolaborasi dengan berbagai pihak,” ujar Prof. Edi. Ia juga menyebutkan bahwa ide ini berawal dari buku yang ditulis bersama beberapa kolega, yang mengulas secara kritis keadaan nelayan di Indonesia.

Menurut Prof. Edi, upaya mengatasi kemiskinan nelayan sebenarnya telah dimulai sejak lama. Sejarah pembangunan perikanan di Indonesia mencakup berbagai era, mulai dari zaman Belanda, Jepang, hingga kemerdekaan.
Pada zaman Belanda, terdapat program bernama “Vektor”, sedangkan pada zaman Jepang, sumber daya perikanan lebih banyak dimanfaatkan untuk keperluan logistik perang. Setelah kemerdekaan, pada era Soeharto, diperkenalkan program Pelita yang meliputi motorisasi perikanan. Program ini memang meningkatkan produksi dan ekspor, namun juga memicu konflik dan kerusakan sumber daya.
“Dalam era reformasi, berbagai program diluncurkan seperti Protekan 2003 dan berbagai upaya intensifikasi perikanan. Sayangnya, semua itu belum mampu secara signifikan mengurangi kemiskinan nelayan,” lanjutnya. Prof. Edi juga menyoroti masa kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang terkenal dengan kebijakan menenggelamkan kapal ilegal, serta kebijakan perikanan terukur yang diterapkan saat ini.
Prof. Edi menjelaskan bahwa konsep S2PI tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi dan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan ekologis. “Struktur sosial progresif-integratif memberi arti bahwa masyarakat selalu mengalami perkembangan. Konstruksi struktur sosial yang dibangun memiliki keterkaitan antara ekologi, ekonomi, dan sosial sebagai landasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya berbentuk lingkaran, harus diubah menjadi piramida. Piramida ini berupa sebuah konsep tentang religiusitas,” jelasnya.
Menurutnya, jika kegiatan ekonomi manusia merusak ekologi, maka ada dua kesalahan mendasar. Pertama, manusia tidak bersifat amanah sebagai wakil Allah swt di bumi untuk menjaga alam secara berkelanjutan. Sumber daya alam harus dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan generasi mendatang. Kedua, kerusakan ekologi akibat kegiatan ekonomi dapat mengganggu kesejahteraan sosial.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Edi juga mengingatkan pentingnya pembangunan perikanan yang mampu meningkatkan kapasitas ruang dan struktur sosial tanpa mencapai titik kritis yang berbahaya. “Jika kita tidak berhati-hati, pembangunan yang tidak terintegrasi bisa mencapai stadium empat seperti kanker, sangat berbahaya,” tegasnya.
Prof. Edi menekankan bahwa konsep S2PI adalah upaya kolektif untuk mencapai keberlanjutan sosial dan ekonomi. “Saya telah mengkaji nelayan sejak tahun 1986 dan semua penelitian ini adalah upaya saya untuk membayar hutang kepada mereka. Tanpa para nelayan, saya tidak akan mungkin bisa mencapai posisi saya saat ini,” tuturnya.
Prof. Edi berharap bahwa konsep S2PI dapat menjadi solusi yang efektif untuk mengurangi kemiskinan nelayan di Indonesia dan mewujudkan keberlanjutan yang tidak hanya ekonomi tetapi juga sosial dan ekologis.
Sebagai profesor yang baru dikukuhkan, Prof. Dr. Ir. Edi Susilo, MS menambah deretan profesor dalam bidang ilmu perikanan. Sebagai seorang pakar dalam bidang Sosiologi Perikanan, Prof. Edi dikukuhkan sebagai Profesor Aktif ke-23 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Profesor Aktif ke-217 di UB, dan menjadi Profesor ke-385 dari seluruh profesor yang telah dihasilkan oleh UB. (nid/din/yor)