oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Di malam hari, Umar bin Khathab pulang rumah, sebagai mana digunakan, untuk keperluan masyarakat. Ia ditemani oleh Aslam. Ia mendapati seorang wanita yang tengah menunggui kuali di atas tungku yang menyala, sementara anak-anak menangis di sekelilingnya.
“Assalaamu ‘alaikum, wahai pemilik tungku,” sapa Umar. “Wa ‘alaikassalam,” jawab si perempuan. “Boleh saya mendekat?” “Mendekatlah dengan baik, atau tinggalkan tempat ini,” jawab perempuan itu ketus. “Apa itu?” “Untuk mengusir dingin malam.” “Mengapa anak-anak itu menangis?” “Mereka lapar.” “Apa yang sedang engkau masak itu?” “Air untuk menghibur mereka hingga mereka tertidur. Allah yang mengadili nanti, antara aku dan Umar!” “Semoga Allah merahmatimu, ada apa dengan Umar?” “la memimpin kami tetapi mengabaikan kami.” Seketika, Umar dan Aslam keluar dan berlari menuju gudang gandum. Lalu ia mengambil beberapa takar dan sepotong daging. “Letakkan di punggungku!” pinta Umar kepada Aslam. “Saya yang membawanya, wahai Amirul Mukminin,” jawab Aslam. “Apakah engkau menanggung dosaku di hari kiamat nanti?” tanya Umar. Maka Aslam pun menaikkan gandum itu di punggung Umar, lalu mereka bersegera kembali ke perempuan tadi. Umar letakkan karung gandum lalu mengeluarkan isinya dan berkata, “Biarkan aku yang memasak untukmu, menjauhlah.” Ia pun meniup api tungku sehingga gandum pun masak. “Ambilkan wadah!” pinta Umar kepada perempuan itu. Ia mengambilkan wadah lalu dituangkanlah masakan yang sudah selesai. “Berilah anak-anakmu itu makanan ini dan aku akan membantumu.”
Sayyidina Umar terus menungguinva hingga mereka semua kenyang dan sebagian sisanya ditinggalkan di situ. Perempuan itu berkata, “Engkau lebih patut mengurus masalah ini dibanding Amirul Mukminin. “Berkatalah yang baik. Jika engkau menghadap Amirul Mukminin kelak, engkau akan menemuiku di sana, insya Allah,” sahut Umar. Umar tidak pergì dari tempat itu hingga melihat anak-anak perempuan itu bermain-main dan kenyang la pun bangkit dan bersyukur kepada Allah, lalu meninggalkan untuk perempuan itu beberapa keping uang.
Alangkah indah sekiranya para pemimpin saat ini memiliki karakteristik tanggungjawab kepemimpinan yang seperti ditunjukkan oleh Sayyidina Umar ini dalam memberikan pelayanan publik maka tentu akan tercipta kehidupan masyarakat yang sejahtera. Tanggungjawab adalah wujud cerdas dari ketaqwaan. Seorang yang bertaqwa pasti memiliki rasa bertanggungjawab atas amanah diembannya. Tanggungjawab atau responsibilty, respon to ability yaitu sikap dalam menanggapi suatu amanah tertentu yang ada pada diri seseorang untuk diwujudkan dalam realitas.
Rasa tanggungjawab ini hadir manakala seorang pemimpin memiliki nilai kesadaran yang tinggi atas 3 hal penting :
1. Tanggungjawab pribadi yang dibangun atas nilai ketuhanan dan konsep diri (self concept) yang tinggi. Yaitu suatu konsep bagaimana diri seseorang sebagai individu mempersepsikan tingkah laku, kemampuan, maupun karakteristik diri sendiri. Intinya, self-concept adalah gambaran siapakah kita berdasarkan penglihatan kita sendiri. Seseorang yang memiliki self concept profetik yang tinggi dicirikan dengan pemahaman bahwa dirinya adalah seorang hamba Allah yang memiliki tujuan utama untuk mengabdi kepadaNya dan kepada kemanusiaan, memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan. Mengabdi pada kemanusiaan berarti kesediaan diri membantu dan melayani orang lain dalam mewujudkan harapan dirinya.
2. Tanggungjawab atas pekerjaan. Bekerja dipahami sebagai cara seseorang dalam mengaktualisasikan potensi dirinya sebagai bentuk pengabdian tertinggi dalam mewujudkan eksistensi diri, seraya mereka memahami bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah.
3. Tanggungjawab sosial. Sebuah kesadaran diri atas keberadan diri dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan. ahwa dirinya menjadi pemimpin karena amanah yang diberikan dan dipercayakan oleh orang lain atas dirinya dengan harapan dirinya mampu mewujudkan mimpi dari publik untuk dapat mensejahterakan mereka. Sehingga saat sekarang sebagai pemimpin maka dirinya wajib mewujudkan harapan itu.
Seorang pemimpin profetik adalah seorang pemimpin yang memiliki tingkat kesadaran diri (self awareness) yang tinggi dengan memahami bahwa segala tindakan dan kebijakannya semuanya kelak akan dimintai pertanggungjawaban sehingga mereka benar-benar menggunakan setiap kesempatan kepemimpinannya untuk mengabdi dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat yang berada di bawah tanggungjawabnya. Sementara pemimpin yang memiliki tingkat kesadaran diri yang rendah selalu abai dalam setiap kesempatan kepemimpinannya, hanya untuk memuaskan kepentingan diri dan kelompoknya serta melupakan dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Pemimpin seperti ini sebenarnya tidak diharapkan kehadiran dan keberadaannya di tengah publik. Na’udzu billahi min dzalik.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB