Kanal24, Malang – Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB), Anak Agung Ayu Nanda Saraswati S.H., M.H menyampaikan, bahwa ruang dialog antar umat beragama sangat penting sebagai upaya menangkal radikalisme. Hal itu disampaikan dalam Seminar Kampung Budaya bertema Dialektika Anti Radikalisme, di Gedung Widyaloka UB (24/09/2022).
“Di Indonesia sudah ada tapi belum optimal saja ruang-ruang dialog antar umat beragama. Ruang dialog kalau tidak kuat itu sangat bisa memicu konflik keagamaan,” tutur Nanda.
Dalam pemaparannya, ia menekankan agar mahasiswa lebih mengedepankan solusi yang bersifat aksi atau tindakan seperti turut aktif dalam mengembangkan pendidikan, program kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan toleransi.
“Meskipun ini ranah Sekolah, ranah Perguruan Tinggi tapi anda (mahasiswa) juga bisa ikut andil dalam menciptakan suasana pendidikan melalui kasus-kasus yang kita diskusikan di dalam kelas di mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan serta Hak Asasi Manusia itu sangat wajib mengangkat isu-isu yang sangat sensitif ditengah kita mahasiswa,” tutur Nanda menjelaskan kepada 150 mahasiswa yang hadir dalam seminar itu.
Dia menjelaskan saat ini masih sedikit fasilitator yang berani mengangkat isu-isu spesifik dan sensitif untuk masuk ke ruang diskusi karena merasa isu yang angkat merupakan hal tabu untuk diperbincangkan serta adanya ketakutan yang muncul di ruang dialog. Namun, Nanda menekankan bahwa justru disamping itu mahasiswa perlu mengangkat berbagai isu-isu krusial bagi keberagaman di Indonesia dalam ruang diskusi.
Baca Juga: Kampung Budaya UB Mengadakan Seminar Bertajuk Anti Radikalisme
Sementara itu, menurutnya untuk mengurangi prejudice atau prasangka terhadap orang yang berbeda hanya dapat dilakukan melalui dialog. Nanda kemudian memberikan satu pepatah yang sering digunakan pada percakapan sehari-hari, tak kenal maka tak sayang, dari pepatah ini, dia mengajak mahasiswa untuk mengenal berbagai perbedaan melalui keterlibatan dalam kegiatan lintas agama.
“Toleransi itu tidak bisa diajarkan. Bisa lah belajar textbook, kita harus menghormati orang yang berbeda agama ya tapi gak cukup. Ada beberapa hal di mata kuliah pembelajaran yang gak bisa diselesaikan di ruang kelas termasuk untuk mencegah anti radikalisme. Gak bisa hanya dengan datang ke bangku kuliah untuk menyelesaikan isu besar ini karena apa toleransi, pluralisme agama, moderasi itu harus benar-benar anda (mahasiswa) rasakan. Harus anda alami sendiri, gak bisa anda mempelajari sendiri di ruang bangku kuliah dengan textbook saja, akan normatif sekali mahasiswa,” paparnya menjelaskan.
Satu contoh program yang dapat dikembangkan lagi menurut Nanda adalah Peace Train Indonesia. Peace Train Indonesia merupakan program perjalanan kereta yang dilakukan 30 hingga 50 mahasiswa dengan latar belakang berbeda pergi mengunjungi tempat-tempat ibadah, berdiskusi dengan pemuka agama dan umat yang berada di daerah tersebut.
“Ini adalah satu dari sekian banyak program yang memang actionable, anda terjun langsung untuk merasakan dan mengalami, bukan hanya belajar di textbook tapi gimana sih berdialog dan berinteraksi dengan orang berbeda agama,” tutur Nanda.
Dia menyampaikan bahwa program ini sudah pernah dilaksanakan di Malang dan Batu. Namun akan lebih baik dan bagus lagi, tambahnya, apabila program ini juga bisa dilakukan di spasial Kota Malang dengan bekerjasama melalui Eksekutif Mahasiswa (EM UB) dan fakultas agar mahasiswa dapat merasakan perbedaan yang ada secara langsung. Karena, menurunya pengalaman akan membawa dampak yang berbeda dalam upaya anti radikalisme.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang, Dr. Dian Kuntaru, S.STP, M.Si juga sependapat bahwasanya untuk meningkatkan toleransi dapat dilakukan melalui traveling ke tempat-tempat ibadah agar lebih memahami multikultural yang ada di Indonesia. (raf/agt)
Baca Juga: BNPT Serukan Lawan Radikalisme Lewat Media Sosial