KANAL24, Malang – Bidang pertanian harus bisa memanfaatkan teknologi pada revolusi industri 4.0 untuk menghadapi global warming. Ungkap Yusuf Hendrawan, Ph.D dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya (FTP UB).
“Peranan AI (Artificcial Intelligence) dalam memajukan pertanian sangat penting dalam membangun smart plant factory atau pabrik tanaman yang berkelanjutan. Jadi, aplikasinya misalkan untuk kontrol suhu, cahaya, air, dan nutrisi. Kemudian penggunaan suara yakni musik gamelan jawa itu bisa meningkatkan produktivitas dari pertumbuhan tanaman di dalam plant factory,” terang Yusuf.
Untuk negara maju yang sudah mengembangkan plant factory adalah Jepang, Cina, Korea, dan Amerika. Mereka mengembangkan itu karena populasi generasi mudanya sedikit, sehingga perlu automatisasi, kemudian seperti Jepang dan Korea yang lahannya sempit, mereka perlu pengembangan suatu sistem pertanian yang tertutup. Artinya bisa di gedung atau di bawah tanah, yang tidak memerlukan lahan yang luas, proses peroduktivitas yang cepat, artinya bisa dipanen cepat dengan kualitas yang bagus, dan hanya teknologi plant factory yang bisa merealisasikan itu.
“Kalau kita menggeluti ilmu tentang plant factory dan hasilnya bagus, teknologinya bisa dijual ke negara-negara yang mungkin secara iklim dan kondisi tidak memungkinkan untuk tanaman. Sekarang sudah tidak ada lagi tanaman tropical atau sub tropical. Selama kita bisa mengoptimasi plant factory maka bisa dimanapun dilakukan pengembangan seperti di luar angkasa dan sebagainya,” lanjutnya
Penyebab Indonesia belum banyak yang menerapkan teknologi ini menurut Yusuf adalah karena yang pertama masih terlena dengan istilah Indonesia yang sangat subur atau zamrud khatulitiwa. Sehingga belum memikirkan bahwa sebentar lagi akan ada perubahan iklim, global warming. Padahal, adanya global warming, perlu waspada tidak bisa dengan mudah menanam tanaman konvensional.
“Kita tetap perlu kembangkan teknologi. Walaupun jumlah lahan kita masih luas, jumlah tenaga kerja kita masih banyak. Jangan sampai karena keterlenaan dan ketidak waspadaan ini, kedepan kita akan bergantung kepada Jepang, Korea, Amerika, dan Cina. Karena mereka yang mempunyai teknologi plant factory, jadi ketika global warming datang negara-negara maju tersebut sudah siap menghadapi,” jelas Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan FTP itu.
Pada plant factory di sistem irrigation process yang sudah di uji coba pada pertumbuhan karpet lumut, biasanya lumut itu hanya bisa produksi dalam waktu 2 tahun, tetapi dengan teknologi ini bisa produksi hanya dalam 6 bulan saja. Artinya, ketika mampu menerapkan sistem cerdas dalam plant factory, bisa meningkatkan produktivitas secara kuantiti maupun kualiti dan produknya pasti aman untuk dikonsumsi.
Adanya era industri 4.0, sudah bukan budidaya tanaman lagi, melainkan produksi tanaman. Istilah produksi itu adalah bagaimana harus sesuai dengan keinginan konsumen. Misal ada konsumen ingin selada yang kandungan vit.c nya sekian, maka kita dengan sistem kecerdasan buatan harus bisa menyesuaikan keinginan konsumen.
“Sebagai akademisi kita punya mahasiswa kita punya kaum intelektual tugas mereka adalah mengembangkan sIstem, ketika sistem sudah berjalan masyarakat tinggal menggunakan. Research and Development terjadi di institusi pendidikan, tinggal masyarakat yang menggunakan,” pungkas alumni IPB tersebut.
Yusuf berharap, Indonesia ada yang mengembangkan plant factory secara masiv artinya secara detail, karena sementara ini yang mengembangkan plant factory hanya satu bagian saja. Jangan terlena dengan suburnya tanah kita. Perlu adanya kebijakan dari pemerintah perlu diwaspadai global warming, pertumbuhan penduduk, berkurangnya lahan pertanian. (meg)