Kanal24, Malang – Universitas Brawijaya bersama Indopol Survey menggelar seminar bertajuk “Perilaku Politik di Era Digital dalam Perspektif Subkultur Jawa Timur” untuk membedah dampak era digital terhadap dinamika politik yang terjadi dalam kontestasi Pemilu 2024. Acara ini menyoroti bagaimana teknologi digital mengubah cara pemilih berinteraksi, kandidat berkampanye, serta transformasi nilai-nilai tradisional dalam subkultur Jawa Timur di tengah perubahan global.
Acara ini menghadirkan pembicara lintas bidang, seperti Dr. Riyanto, M.Hum., ahli budaya dan antropologi, Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D., ahli politik, Ratno Sulistiyanto, Direktur Eksekutif Indopol, dan Novy Setia Yunas, S.IP., M.IP., sebagai penyaji utama.
Novy Setia Yunas membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa Pemilu 2024 merupakan momentum politik yang panjang dan signifikan. Salah satu perubahan utama adalah meningkatnya populasi pemilih muda dari generasi milenial dan Gen Z, yang mencapai sekitar 50% dari total pemilih.
“Besarnya populasi pemilih muda ini ibarat dua sisi mata uang,” ujar Novy. Di satu sisi, mereka menjadi peluang besar untuk mendorong konsolidasi demokrasi dan visi kepemimpinan ke depan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, potensi ini dapat memunculkan persoalan baru, seperti meningkatnya polarisasi politik.
Perkembangan pesat teknologi dan digitalisasi turut menjadi faktor kunci yang mengubah pola perilaku politik. Era digital membawa pergeseran dalam metode kampanye, dari cara konvensional menuju strategi digital yang lebih dinamis. “Figur dengan pengaruh besar di media sosial kini memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan pemimpin dengan karisma tradisional,” tambahnya.
Sebagai salah satu provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, Jawa Timur memegang peranan penting dalam kontestasi politik nasional. Selain faktor demografis, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang melampaui target nasional pada 2023 menjadi indikator penting.
Menurut Novy, dalam konteks lokal, subkultur Jawa Timur yang kaya akan tradisi dan budaya turut memengaruhi pola politik masyarakat. Pola ini kini mulai berubah seiring dengan berkembangnya teknologi digital yang merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk politik.
Wawan Sobari, salah satu pembicara, menyoroti dampak teknologi digital terhadap asumsi dasar politik konvensional. Ia menjelaskan bahwa kampanye digital kini menjadi kebutuhan yang tak terelakkan, meskipun metode konvensional tetap digunakan.
“Donald Trump adalah contoh nyata bagaimana pemilu dimenangkan melalui analisis data di media sosial. Dengan memanfaatkan kata kunci seperti ‘hate’ dan ‘fear’, ia berhasil memobilisasi massa secara emosional,” jelas Wawan.
berdasar riset yang ia kemukakan, media sosial bukan hanya alat untuk menyebarkan informasi, tetapi juga menjadi jembatan emosional antara kandidat dan pemilih. Kedekatan emosional, bahkan tanpa pertemuan langsung, dapat dibangun melalui interaksi di media sosial. Hal ini menegaskan bahwa media sosial kini menjadi determinan utama dalam keberhasilan kampanye politik.
Seminar ini menyimpulkan bahwa perubahan besar dalam perilaku politik di era digital tidak hanya terjadi di tingkat nasional tetapi juga berdampak signifikan pada level lokal. Dengan populasi pemilih muda yang besar dan pesatnya perkembangan teknologi, tantangan bagi para pemangku kepentingan adalah bagaimana memanfaatkan peluang ini secara bijaksana tanpa mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Melalui diskusi ini, Universitas Brawijaya dan Indopol Survey memberikan pandangan yang komprehensif tentang dinamika politik di era digital, khususnya Jawa Timur. (fan)