Islam adalah agama yang memiliki kepedulian tinggi atas realitas sosial masyarakat sebagai wujud dari rahmatan lil alamiin. Bahwa sangat banyak didalam teks-teks alquran yang mendorong atas sikap kepedulian ini. Salah satunya adalah surat Al Ma’un berikut,
أَرَءَیۡتَ ٱلَّذِی یُكَذِّبُ بِٱلدِّینِ فَذَ ٰلِكَ ٱلَّذِی یَدُعُّ ٱلۡیَتِیمَ وَلَا یَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِینِ فَوَیۡلࣱ لِّلۡمُصَلِّینَ ٱلَّذِینَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٱلَّذِینَ هُمۡ یُرَاۤءُونَ وَیَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya’, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS. Al-Ma’un : 1 – 7)
Patut diketahui, bahwa konsepsi agama bukanlah sekedar sebuah wacana untuk memuaskan dialektika berpikir ataupun pula sekedar menjadi sebuah ritual yang memuaskan rasa spiritualitas belaka. Namun agama ini hadir ke muka bumi untuk melakukan interaksi dengan berbagai aksi nyata sehingga mampu mewujud dalam realitas kemanusiaan dan kehidupan sebagaimana realitas yang ingin dibentuk oleh Islam, yaitu realitas hidup yang mampu saling menebarkan kasih sayang bagi seluruh alam ini, rahmatan lil aalamiin.
Hal inilah yang mendorong KH. Ahmad Dahlan untuk terus menerus membacakan dan mengajari surat al Ma’un kepada para murid-muridnya hingga mereka merasa bosan. Hingga mereka pun bertanya mengapa sang guru tidak beranjak mengajarkan surat yang lain. Namun KH. Ahmad Dahlan balik bertanya apakah mereka sudah mengamalkan surat al-Maun atau belum. Para murid menjawab, mereka sudah mengamalkan, setidaknya melalui bacaan pada setiap salat. Inilah kemudian yang dikritisi oleh KH. Ahmad dahlan bahwa ayat alquran tidak cukup hanya di hafalkan namun haruslah diamalkan, dipraktekkan dan diimplementasikan dalam aksi dan gerakan nyata. Selanjutnya ia menyuruh murid-muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang, lalu dimandikan dengan sabun, diberi pakaian yang bersih, diberi makan dan minum, serta disediakan tempat tidur yang layak. Sebagaimana ditulis oleh Junus Salam dalam bukunya yang berjudul K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009).
KH. Ahmad Dahlan merasa tak cukup jika persoalan agama sekadar menjadi teks doktrinal yang dihafalkan tanpa praktik nyata untuk mengentaskan pelbagai persoalan umat untuk itu dalam beragama perlu membumikan teks agar nilai konseptual akan semakin kuat berakar dalam realitas. Sebab sejatinya teks memberikan arahan tentang bagaimana seseorang harusnya bersikap, dan Rasulullah saw telah mampu membumikan teks itu secara sempurna dalam realitas sosial kemanusiaan. Sebagaimana disebutkan bahwa adalah akhlaq Nabi, itulah akhlaq alquran (كان خلقه القران).
Beberapa konsepsi nilai dalam surat al Ma’un memberikan penegasan atas sikap sosial seorang mukmin, yaitu bahwa cukuplah dianggap sebagai seorang yang mendustakan agama (yukadzdzibu bid diin) manakala seseorang melakukan beberapa tindakan berikut: suka menghardik atau bersikap keras serta tidak peduli atas nasib anak-anak yatim, tidak memiliki rasa tanggungjawab sosial terhadap kaum fakir miskin, serta tidak peduli untuk turut membantu dalam mengentaskan kemiskinan yang ada dalam masyarakatnya. Perilaku demikian dikategorikan sebagai seseorang yang lalai dalam shalatnya. Artinya seseorang tidak cukup dengan keshalehan personalnya melalui ibadah shalat sementara mereka lemah dalam membangun kepedulian atas realitas sosialnya, lemah dalam keshalehan sosial. Orang yang demikian dianggap tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai bathinah (substansial) daripada ibadah shalat (yaitu membesarkan Allah, bersedia melihat ke “bawah”, berempati dengan mereka kaum “bawah” dengan ruku’ / menghormatinya dan sujud /memuliakannya, serta duduk bersama dengan mereka dan selanjutnya menebarkan salam kepada mereka yang ada disekitar kita melalui simbolisasi salam ke kanan dan ke kiri), bahkan lebih jauh lagi dianggap telah mendustakan agamanya. Sebab agama Islam adalah agama rahmat, kasih sayang, kepedulian dan menekankan atas rasa tanggungjawab sosial.
Teologi al Ma’un ingin menegaskan bahwa komunikasi sosial ummat Islam haruslah terbangun atas rasa kepedulian, perhatian yang tinggi serta rasa tanggungjawab yang besar terhadap masyarakat yang ada disekitar dengan cara menyantuni para yatim dan membantu memberdayakan kaum fakir miskin (kalangan dhuafa) sehingga mampu hidup mandiri dan sejahtera (makan minum yang cukup) baik melalui suatu tindakan yang bersifat konsumtif maupun produktif kreatif, misal dengan pemberdayaan sosial kewirausahaan dan program kemandirian lainnya.
Ide Islam telah melampaui jamannya untuk menghadirkan semangat kemandirian dan kewirausahaan dalam mengembangkan masyarakat bangsa. Sehingga mereka bisa bangkit dan bersedia bertanggungjawab atas dirinya dan selanjutnya terhadap keluarga terdekatnya (dzawil qurbaa) setelah mereka mampu melewati jalan kemandirian itu. Jiwa kemandirian dengan semangat kewirausahaan adalah cara untuk membangkitkan suatu masyarakat bangsa agar mereka dapat hidup sejahtera dan terhormat sehingga bisa memuliakan agamanya dan tidak mendustakannya. Sebab terkadang seseorang yang tidak mampu mengelola aset diri dan bangsanya cenderung lemah dan tidak tidak berdaya di hadapan orang lain atau bangsa lain sehingga menjadi pribadi atau bangsa yang dependent, selalu tergantung pada bangsa lain serta kemudian menyerahkan dirinya sebagai kaum terjajah. Teologi al Ma’un sebenarnya adalah cara memerdekakan diri dengan meneguhkan aksi melalui kepedulian dan tanggungjawab sosial melalui usaha kemandirian dan kewirausahaan sosial untuk membumikan teks-teks dasar keyakinan sebagai implementasi dari nilai keimanannya.
Rasa tanggungjawab dan kepedulian yang tinggi terhadap kaum fakir miskin ini dicontohkan secara sempurna oleh pemilik akhlaq al quran yaitu Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah mengatakan: “Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ketika beberapa orang datang kepada beliau dengan bertelanjang kaki dan (nyaris telanjang); mengenakan pakaian dari wol yang lubang di tengah-tengahnya, sedangkan pedang mereka menggantung di leher. Sebagian besar dari mereka bahkan seluruhnya berasal dari kabilah Mudhar.
Ketika melihat hal tersebut, rona wajah Rasulullah berubah, lalu beliau masuk ke rumahnya kemudian keluar lagi, lalu memerintahkan kepada Bilal agar mengumandangkan azan, kemudian beliau mendirikan shalat dan menyampaikan khotbah kepada orang-orang, seraya mengutip surat An-Nisa ayat 1 dan kemudian beliau membaca ayat dari Surah Al-Hasyr ayat 18
Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya, “Masing-masing dari kalian bersedekahlah dengan dinarnya, bersedekahlah dengan dirhamnya, bersedekahlah dengan pakaiannya, bersedekahlah dengan satu timbangan gandumnya, bersedekahlah dengan satu timbangan kurmanya”, hingga Rasulullah bersabda, “Bahkan meski dengan setengah kurma”.
Kemudian, seseorang dari kaum Anshar membawa sekarung harta yang dia hampir tidak bisa membawanya. Setelah itu, orang-orang terus membawa semakin banyak barang sampai aku melihat dua tumpuk makanan dan pakaian. Dan aku melihat wajah Rasulullah bersinar karena gembira, seakan-akan wajah beliau terbuat dari emas. Kemudian Rasulullah bersabda, Barangsiapa
mengawali sebuah kebiasaan yang baik dalam Islam, akan mendapatkan pahala dari perbuatan itu dan pahala dari mereka yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barangsiapa mengawali kebiasaan burul dalam Islam, akan mendapatkan dosanya dan dosa mereka yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun’.”
Demikianlah akhlaq nabi saat berinteraksi dengan para fakir miskin hatinya segera tergerak untuk membantu. Demikianlah pula harusnya setiap muslim untuk segera membantu orang lain yang membutuhkan. Karena inti dari ajaran Islam adalah memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan responsif dalam membantu kaum dhuafa dan fakir miskin. Sehingga dengan demikian maka komunikasi sosial akan berlangsung dengan sangat baik penuh perhatian dan loyalitas serta lahirlah realitas masyarakat yang tepo seliro saling peduli dan saling bertanggungjawab, karena tanggungjawab sosial adalah tanggungjawab bersama dari seluruh komponen ummat Islam.
Adalah tergolong sebuah kepalsuan manakala kita menyatakan beriman namun tidak berimplikasi dalam realitas . Adalah sebuah pengkhianatan dan kedustaan terhadap agama manakala si fakir, si miskin dan si yatim dibiarkan begitu saja tanpa ada yang mau mempedulikannya. Bumikan teks alquran yang agung itu dalam aksi nyata kepedulian. Inilah islam, agama rahmat semesta. Wallahu a’lam