KANAL24, Malang – Terinspirasi oleh Prof. Erani Yustika yang berhasil meraih gelar profesor diusia ke 37, Prof. Devanto Shasta Pratomo, SE., M.Si., Ph.D kepada kanal24.co.id menceritakan perjalanannya hingga berhasil meraih gelar profesor diusia ke 43 tahun.
Dede (sapaan akrabnya) mengungkapkan bahwa Prof. Erani yang juga menjadi salah satu dosennya di FEB UB menyarankan agar ia bisa meraih gelar profesor 10 tahun setelah mendapat gelar S3. Hal tersebut rupanya menjadi doa yang terkabul, tepat 10 tahun setelah Devanto meraih gelar S3, ia berhasil meraih profesor di bidang ekonomi ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan meraih gelar profesornya, Dede mengaku lebih dimudahkan dibanding rekan-rekannya. Hal ini karena, Dede sekolah S3 di University of Lancaster Inggris, yang mana universitas tersebut berfokus pada riset.
“Jadi, untuk mendapat gelar profesor itu harus sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan saat ini yang menjadi poin terkuat adalah bidang penelitiannya. Saya dapat keuntungan karena S3 saya by riset, saya merasa diciptakan sebagai peneliti. Kuliah saya yang harusnya 3 tahun, tetapi saya baru bisa lulus S3 di tahun ke 5,” terang profesor kelahiran Malang itu.
Lanjutnya, hal tersebut justru disikapi positif oleh Dede karena dalam kurun waktu 5 tahun itu Dede bisa melakukan penelitian dan menulis jurnal internasional dengan baik dan benar, serta berkualitas yang relatif cukup tinggi. Kemudian, yang menjadi nilai tambahannya adalah kemampuan bahasa inggris Dede diasah dengan sangat baik. Dua skill inilah yang membuat Dede merasa enjoy dalam mengambil gelar profesor tersebut.
Memiliki seorang ayah yang merupakan mantan rektor UB, yakni Prof. Bambang Guritno dan ibu seorang arsitek tidak membuat Dede besar kepala. Justru hal tersebut disikapi sebagai beban olehnya.
“Ketika ayah saya menjabat sebagai rektor selama 4 tahun, saya mungkin hanya menikmati selama 1 tahun saja. Setelah itu, saya berusaha untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Saya tidak ingin bergantung pada jabatan ayah saya. Keputusan tersebut, awalnya mendapat penolakan oleh ibu saya karena saya merupakan anak tunggal. Tetapi beruntungnya saya memiliki ayah yang demokratis, sehingga saya diijinkan dengan syarat selesai sekolah saya harus kembali ke UB, dan sekarang saya tepati janji tersebut,”jelasnya.
Dede menceritakan bahwa dulu Ia tidak didukung oleh orang tua untuk bersekolah di bidang sosial humaniora. Hal ini dikarenakan, latar belakang Pendidikan orang tuanya yang mana ayah seorang profesor di bidang pertanian dan ibu seorang arsitek. Jauh sebelum kuliah pada saat peminatan di SMA, Dede bahkan sempat dibawa ke psikolog untuk mengetahui kemampuannya apakah di IPA atau IPS.
“Secara kemampuan, saya masuk di IPA tetapi saya lebih enjoy dan happy mempelajari IPS. Akhirnya, sekali lagi karena ayah saya orang yang demokratis saya diijinkan untuk masuk ke IPS dan berlanjut hingga ke jenjang perguruan tinggi dengan fokus ilmu ekonomi,”imbuh dosen ilmu ekonomi dan studi pembangunan itu.
Di akhir sesi wawancara, Dede membagikan motto hidupnya kepada generasi milenial bahwa pengetahuan mempertajam tujuan. Ia mengatakan, rasa keingintahuan biarlah untuk terus berkembang meskipun gelar yang didapat sudah tinggi.
“Jangan cepat puas, kita harus tetap mengupgrade diri kita sendiri. Karena hal itu akan lebih berguna untuk sesama daripada kita puas dengan kondisi sekarang,” pungkasnya. (meg)