Bagi anda yang mungkin pernah mondok tentu akan tahu bahwa kehidupan pesantren adalah kehidupan yang unik dan mengasyikkan. Terlebih kehidupan pondok pada tahun-tahun sebelum abad 20. Dikatakan unik karena kita tidak akan pernah menjumpai realitas dunia santri dalam sistem pendidikan modern sekarang di sekolah-sekolah formal, mulai SD hingga perguruan tinggi. Ini hanya ada di dunia pesantren. Tentang bagaimana sandal itu tertata dengan rapi menghadap keluar, tentang bagaimana saat itu para santri menulis pakai pena celup untuk memaknai kitab dengan menggunakan tulisan arab pegon, tentang bagaimana romantika saat masak hingga gosong dan terpaksa makan nasi intip (kerak nasi yang masih tersisa dan melengket di panci masak), tentang bagaimana nikmatnya makan bersama diatas satu nampan untuk beberapa orang walau hanya dengan lauk pauk berupa garam yang dimasak dan dibumbui dengan bawang saja, dan lain sebagainya.
Keunikan kehidupan dunia santri dan pesantren ibarat oase di tengah realitas dunia pendidikan yang semakin sekuler dan liberal yang jauh dari kemuliaan nilai akhlaq. Dunia santri menghadirkan suatu realitas yang berbeda karena berhasil menampilkan Interaksi hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ibadah yang kuat, interaksi antara guru dan murid dalam bentuk pengkhidmatan atau penghormatan dan pelayanan yang penuh keikhlasan, interaksi keilmuan dalam bentuk optimalisasi waktu sepenuhnya hanya untuk belajar dengan kitab yang selalu dijinjing dan dibawa setiap saat, serta interaksi dengan lawan jenis yang sangat unik yaitu sistem pendidikan yang terpisah antara santriwati dan santriwan dan juga tempat yang memang dipisah saling berjauhan serta adanya larangan keras untuk bertemu. Suatu hal yang tidak ada dalam realitas pendidikan modern saat ini.
Coba kita cermati, bagaimana kehidupan para santri yang telah mulai menggeliat sejak mereka dibangunkan pada jam 02.30 pagi melalui bunyi bel yang sangat keras dan memekakkan telinga hingga bikin kaget siapapun yang mendengarnya. Suasana ini tentu sangat dirindukan oleh siapa saja yang dahulunya pernah nyantri di pondok pesantren, sekalipun mereka tidur beralaskan lantai tanpa kasur di kamar-kamar atau di teras dan dalam masjid ataupun di ruang-ruang kelas pondok dengan hanya berbantalkan beras ataupun dengklek kayu yang biasanya dipakai untuk ngaji alquran, namun para santri saat itu tetap dapat menikmati tidurnya dengan nyeyak.
Setiap malamnya para santri memulai aktifitas hariannya dengan qiyamullail, dzikir bersama hingga menjelang subuh kemudian dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah dan dzikir pagi lalu barulah mulai taklim pagi kembali. Selepas salat adalah saat-saat yang paling menegangkan bagi para santri terlebih bagi mereka yang melakukan pelanggaran, karena saat itu adalah pembacaan sanksi dan daftar nama-nama santri yang dalam seharian hingga malam melakukan berbagai pelanggaran aturan yang ditetapkan oleh pondok.
Ada beragam level sanksi dengan beragam bentuknya pula, mulai dari membersihkan kamar bagi mereka yang mungkin susah dibangunkan hingga terpaksa harus disiram oleh petugas keamanan pondok, atau membersihkan kamar mandi dan halaman bagi mereka yang mungkin ketahuan keluar lingkungan pondok tidak memakai kopyah, atau mungkin pula mereka yang ketahuan keluar lingkungan pondok tanpa izin, termasuk pula santri yang ketahuan nonton bioskop ataupun layar tancap yang saat itu menjadi salah satu hiburan yang ada hingga harus digundul kepalanya, atau pula mungkin terpaksa harus dikeluarkan dari pondok karena ketahuan berpacaran dengan santriwati yang termasuk dalam ketegori pelanggaran berat khususnya di lingkungan pesantren salaf saat itu.
Selepas taklim pagi para santri telah sibuk untuk membagi tugas hariannya. Ada di antara mereka yang bertugas sebagai juru masak bagi teman-temannya, ada pula yang membersihkan kamar halaman dan juga halaman kamar mandi. Intinya tidak ada satupun santri yang tidak memiliki tugas dan kesibukan di pagi hari.
Hal yang mungkin tak akan terlupakan bagi para santri adalah saat sesi mandi bareng di sumur pompa dengan cukup menggunakan celana pendek atau kain kecil sebagai penutup yang setelah mandi cukup digantungkan kembali di dinding-dinding kamar mandi untuk dapat dipakai kembali oleh yang lain. Hingga tidak jarang diawal-awal tinggal dipondok para santri pasti kena penyakit gatal-gatal dan penyakit kulit lain sejenisnya. Dan bagi para santri seakan ada satu pemahaman bahwa jika santri belum pernah kena penyakit kulit maka belum dianggap sempurna sebagai seorang santri. Hingga seakan sembuh dari penyakit kulit, gatal-gatal ibarat yudisium awal tanda diterima sebagai seorang santri.
Menariknya pula kehidupan santri jaman old seperti saya saat itu jika kehausan atau selepas makan bersama pasti minum air mentah tanpa dimasak dulu, tepatnya minum air langsung dari sumur bor yang kadang mengeluarkan kotoran lumut hingga harus disaring terlebih dahulu menggunakan kain kecil penutup saat mandi bersama atau minum air dari bak kamar mandi. Mungkin realitas ini terkesan horor bagi masyarakat saat ini, termasuk kita para alumni pesantren, hingga muncul pertanyaan bagaimana bisa dahulu kita bisa melakukan hal demikian dan anehnya tidak mengalami sakit apapun.
Hal unik lainnya dari dunia santri adalah dalam hubungannya dengan guru. Bagi dunia pesantren, guru atau kiyai adalah pusat dari seluruh proses pendidikan. Tokoh sentral yang mengidentifikasikan keberadaan suatu pesantren. Bagi masyarakat, pesantren itu adalah kyainya, yaitu siapa kyai pemangkunya yang menjadi identitas pesantren. Sehingga para santri menempatkan kyai sebagai orang yang sangat dihormati dan dimuliakan. Tidaklah aneh jika kita melihat para santri bersedia rebutan menikmati sisa makanan atau minuman kyai. Karena bagi santri disanalah ada keberkahan. Nilai keberkahan inilah yang seakan menjadi ideologi santri, sebab dari keberkahan ini maka ilmu yang dipelajari dapat mudah dipahami dan kelak memberikan kemanfaatan. Pada tahap ini kita dapat memahami mengapa para santri rela berebut menata sandal kyai, mencium tangan kyai dengan cara cium bolak balik (atas bawah punggung dan telapak tangan). Bahkan realitas yang tidak akan pernah kita jumpai dalam dunia pendidikan modern adalah sikap santri saat bertemu dengan kiyai. Para santri akan berhenti, diam dan menundukkan kepalanya atau membungkukkan badannya bahkan mungkin duduk jongkok saat bertemu dan berpapasan dengan sang kyai dimanapun dan kapanpun. Kemudian mereka akan beranjak manakala sang kyai telah berlalu cukup jauh darinya. Unik memang , tapi benar-benar nyata.
Bahkan ada suatu keyakinan di kalangan para santri bahwa siapa saja yang selama berada di pesantren suka melanggar, suka bikin onar serta tidak patuh dan taat atas aturan dan perintah kyai atau bahkan berani pada kyai maka mereka akan mendapatkan “kualat” dari sang kyai ataupun pesantrennya, yaitu suatu keadaan yang diyakini akan mendatangkan atau mendapatkan bencana atau kena tulah karena berbuat tidak baik atau kurang ajar sehingga akan menghilangkan keberkahan dari ilmunya serta kehidupan selanjutnya akan bermasalah. Suatu keyakinan yang memang sulit menemukan dasar argumentasinya namun cukup diyakini dikalangan dunia santri pesantren.
Menjadi santri adalah sebuah pilihan yang tepat, karena santri adalah sesosok penuntut ilmu yang memiliki semangat untuk menjadi pribadi mulia dan berwibawa melalui pengabdian, khidmad dan kesederhanaan sikap yang telah terlatih selama dirinya menempa hidup di dunia pesantren seraya bermulazamah dengan seorang guru yang diyakini mampu menjadikan dirinya seorang pribadi yang kuat lahir batin dalam menghadapi berbagai cobaan dan terpaan masalah hidup. Hingga layaklah mereka (para santri) mendeklarasikan dirinya dengan komitmen bahwa selamanya dia adalah santri yang akan terus mengabdi (maa ziltu thaliban).
Dengan realitas kehidupan santri yang penuh dengan kebersahajaan dan mampu menghasilkan sosok pribadi yang kuat dari segi pemahaman agama serta kepribadian yang kokoh pula maka tidak sedikit pula sebagian kalangan yang tidak hanya sekedar ingin melakukan duplikasi sistem pesantren namun juga ada pula kalangan yang dengan sengaja ingin melemahkannya. Sebab mereka memiliki agenda sejarah yang panjang untuk memadamkan cahaya kebaikan. Sebagaimana diberitakan oleh Allah bahwa :
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah (Al-Baqarah, : 120)
يُرِيدُونَ لِيُطۡفِـُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. ( Ash-Shaf, : 8)
Akhirnya, jika ada sebagian kalangan (melalui corongnya, proxy) yang dengan sengaja ingin mengkonstruksi secara negatif dalam benak publik melalui berbagai cara dan media dengan mereduksi nilai-nilai kemuliaan akhlaq santri dan kewibawaan institusi pesantren, maka tidkk menutup kemungkinan santri akan kehilangan karakternya, pesantren akan kehilangan marwahnya dan akhirnya masyarakat tidak lagi percaya pada institusi pesantren yang mampu melahirkan lagi akhlaq mulia dari kalangan anak muda maka hilanglah semua instituti dan wadah yang dapat menyelamatkan masa depan generasi muda. Sehingga siapapun yang terlibat dalam upaya degradasi ini tentu haruslah bertanggungjawab atas sejarah dan masa depan dihadapan Allah swt kelak.
Semoga Allah swt membimbing kita dalam jalan kebaikan dan menyelamatkan kita dari fitnah akhir zaman ini. Semoga Allah terus memberikan kita keistiqomahan untuk selalu berada di jalan yang diridhoiNya. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar