Secara bahasa kata santri memiliki beragam makna, ada yang menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sangskerta yaitu “shantri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan. Namun ada juga kalangan yang mengatakan.bahwa santri berasal dari kata cantrik. Yaitu seseorang yang belajar secara serius pada seorang Mpu atau begawan atau resi hingga dia bersedia loyal dan menjadi pelayannya atau pembantunya agar mendapatkan ilmu dan kemampuan yang sama sebagaimana sang Mpu atau gurunya. Pada kedua pengertian diatas memiliki ujung hilir yang sama yaitu seseorang yang belajar ilmu agama yang mulia dengan bersedia menjadi pelayan atau berkhidmad kepada sang guru melalui amal tindakan ketawadhuan dan tindakan amal kebaikan lainnya yang dapat mendatangkan keberkahan dari ilmu yang dipelajarinya.
Santri adalah seorang pembelajar yang mengedepankan nilai-nilai akhlak mulia dalam pergaulan dan semua hal yang ada hubungannya dengan belajar serta menuntut ilmu khususnya ilmu agama. Jadi pesantren adalah tempat para santri menuntut ilmu. Di pesantren berarti ada ilmu yang dipelajari, ada guru yang mengajari yang dikenal dengan istilah kyai, tuan guru, ustadz, dan sebagainya yang menjadi sentral keteladanan baik dalam hal ilmu ataupun ibadah dan perilaku. Serta tentu ada santri yaitu orang-orang yang memiliki niat yang kuat untuk mendalami ilmu agama.
Di pesantren para santri mempelajari berbagai macam fan ilmu atau cabang ilmu, mulai dari ilmu alat berupa bahasa arab atau bahasa lainnya, ilmu alquran dan alhadist, fiqih, sejarah, akhlaq dan banyak lagi ilmu lainnya yang dikaji dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang disebutnya dengan istilah kitab kuning karya para ulama-ulama salaf ataupun khalaf yang mampu mengantarkan kepada mereka pemahaman suatu keilmuan yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan, baik masalah dirinya ataupun masyarakat dan kehidupan yang lebih kompleks lainnya.
Jadi seorang santri adalah seorang pelajar yang memiliki akhlaq mulia dan menjaga moralitas yang tinggi serta berupaya sekuat tenaga dengan daya upaya untuk menjauhi segala perbuatan dan tindakan yang dilarang dalam agama karena mereka sadar bagaimana mungkin dia akan mencapai kepada pemahaman agama sementara dia mengerjakan perbuatan yang dilarang dan dibenci oleh agama, sementara dia sedang mempelajari suatu ilmu agama. Baik dalam hubungannya dengan Allah dan RasulNya, hubungannya dengan guru, hubungannya dengan orang tua, dan hubungannya dengan orang lain.
Akhlaq bagi santri adalah hal yang paling sentral dan utama karena puncak dari seluruh proses pembelajaran adalah terbentuknya akhlaq mulia. Sehingga para santri adalah orang-orang yang memiliki ketinggian akhlaq baik dalam hubungannya dengan Allah swt, dengan guru, dengan temannya, dengan dirinya, dengan lingkungannya termasuk orang yang berada diluar keyakinan agamanya.
Akhlaq santri dengan Allah swt ditunjukkan dengan kuatnya hubungan melalui ibadah. Santri adalah seseorang yang kuat ibadahnya, dekat hubungannya dengan Allah, lisannya penuh dzikir, senjatanya adalah tasbih yang diasahnya melalui bangun ditengah malam (qiyamul lail). Serta dicirikan dengan semangatnya yang kuat dalam berdakwah amar makruf nahi mungkar, sangat tegas atas berbagai kemungkaran yang ada bahkan selalu menjadi yang terdepan dalam menumpas kemaksiatan dan kemungkaran.
Demikian pula akhlaq santri terhadap gurunya yang ditunjukkan dengan rasa khidmad atau kesediaan melayani yang tinggi sebagai wujud ketundukan dan ketaatan, bahkan rasa hormat kepada guru yang tiada tara dengan sikap tunduk saat bertemu bahkan mungkin duduk merendah dikala berpapasan dengan sang guru. Begitu pula kepatuhannya diwujudkan dengan kesediaan melakukan apa saja perintah dan amanah sang guru sekalipun pada awalnya dirinya mungkin tidak bisa dan tidak mampu melakukannya. Semua itu dilakukannya dengan satu harapan agar mendapatkan keberkahan ilmu dari sang guru.
Akhlaq santri terhadap ilmu ditunjukkan dengan semangat yang tinggi dan ghirah yang luar biasa dalam menuntut ilmu, hingga hari-harinya selama berada di pesantren selalu hanya diisi dengan ilmu, belajar, mengulangi bacaan (dars), hafalan (murajaah) serta setoran berbagai kitab pada para guru. Semua waktu yang dimilikinya tidak ada satupun yang tersia-siakan.
Demikian pula akhlaq santri dengan sesama. Mereka saling berkhidmad dengan harapan mendapatkan keberkahan ilmu dari apa yang dilakukannya atas perhormatan pada sesama penuntut ilmu. Menata sandal, membersihkan kamar, memasak dan menyiapkan konsumsi untuk para santri lainnya adalah upaya untuk berkhidmad kepada sesama teman para penuntut ilmu. Akhlaq santri dengan orang lain termasuk di dalamnya adalah akhlaq dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Bagi para santri pantang untuk berpacaran, berduaan (berkhalwat) dan bercampur laki perempuan dalam satu tempat (ikhtilat). Karena demikianlah yang diajarkan dalam kitab-kitab para ulama yang lurus pemahamannya atas agama ini.
Bahkan dalam hubungan sosial, para santri adalah seorang yang sangat menghargai dan menghormati orang yang memiliki keyakinan berbeda dengannya dan tetap konsisten dalam keyakinan yang kuat atas ajaran agamanya tanpa harus mengorbankan nilai-nilai dasar aqidah karena islam telah mengajarkan bahwa beragama adalah menyakini tanpa ragu sehingga tidaklah perlu mencampur adukkan urusan keimanan serta merendahkan keyakinan dengan melakukan transaksi keimanan. Seperti mengucapkan ucapan selamat atas perayaan keimanan agama lain hingga ikut merayakannya di tempat-tempat ibadah mereka. Maka semua tindakan ini adalah bentuk liberalisme keyakinan dan pengkhianatan atas konsep keimanan yang lurus.
Kehidupan santri adalah adalah kehidupan yang ideal dalam menuntut ilmu. Pesantren mengajarkan disiplin dari segala hal. Karena pesantren pasti mengajarkan pada setiap santrinya untuk mematuhi semua aturan pesantren yang memang disusun agar perilaku para santri menjadi jauh lebih baik serta lembaga pesantren dapat berjalan dengan baik. Pengajaran akhlaq yang menjadi kehidupan para santri adalah praktek langsung (experiential learning ataupun learning by doing). Mereka belajar tentang tanggungjawab melalui tugas-tugas harian yang diberikan ataupun amanah yang emban tugaskan pada dirinya. Mulai dari pemenuhan kebutuhan pribadi, seperti memasak, mencuci, membersihkan kamar tidur, kamar mandi, halaman hingga keamanan, melayani tamu, kerapian, dan segala hal baik yang terkait dengan dirinya pribadi maupun khidmad pada guru dan orang lain dilakukannya sendiri secara mandiri serta berkelompok sehingga tercipta sikap kemandirian sekaligus kebersamaan dalam diri santri. Sehingga tidak ada kesempatan bagi para santri untuk berpikir neko-neko terhadap dunia luar terlebih tentang wanita. Sebab tempat tinggal para santri biasanya terpisah cukup jauh sehingga sulit berinteraksi. Bahkan untuk bertemupun mereka amat sangat sulit karena jarak ataupun akses pertemuannya. Terlebih pula para santri akan mendapatkan hukuman yang amat berat (ta’zir) dari pengurus atau pengelola pondok jika ketahuan berbuat melampaui aturan, seperti pacaran dan sebagainya, sebab sanksinya bisa taraf yang maksimal yaitu dikeluarkan dari lingkungan pondok.
Bahkan berbagai fasilitas untuk menunjang proses interaksi dan komunikasinya pun amat sangat terbatasi. Banyak pesantren yang melarang para santrinya untuk memegang handpone, menonton televisi dan membaca koran. Karena hal ini dipahami dapat merusak pemahaman dan fokus pengajaran dan pembelajaran atas diri santri. Sebab santri adalah orang yang belajar tentang ilmu agama maka mereka harus selamat dari segala hal yang berpotensi dapat merusak cara dan pola berpikir para santri khususnya yang dapat terdampak dari berbagai proses dan media komunikasi tersebut.
Pesantren benar-benar menjaga berbagai proses interaksi dan akses atas berbagai media karena semua hal itu dikhawatirkan dapat merusak konsentrasi dan fokus belajar para santri bahkan ditengarahi bahwa bermula dari media informasi itulah berbagai persoalan dan kemaksiatan serta dosa tercipta. Sementara ilmu yang dipelajarinya adalah sebuah cahaya, maka bagaimana mungkin cahaya akan bertemu dan bersatu dengan kegelapan atau kekotoran dalam satu diri. Bahkan sebaliknya, melalui berbagai media itulah cahaya akan mudah redup hingga mati tanpa sisa sinar sedikitpun. Demikianlah yang dikeluhkan oleh Imam asy Syafi’i pada gurunya, imam al waqi’ :
شكوت الى وكيع سوء حفظي # فارشدني الى ترك المعاصي
وقال لي ان العلم نور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Artinya :
“Aku mengadu pada Waki’ tentang buruknya hafalanku # Lalu beliau memberi petunjuk kepadaku untuk meninggalkan segala macam kemaksiatan”
“Beliau berujar ; “Ilmu adalah nur (cahaya) # Dan nur Alloh tak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”
Ternyata apa yang menyebabkan rusaknya hafalan imam asy syafi’i itu. Lalu beliau berpikir, dosa apakah gerangan yang telah dia perbuat hingga membuat dirinya sulit menghafal atau hilang hafalan. Setelah dia renungkan, akhirnya beliau ingat, pernah tanpa sengaja melihat bagian dari telapak kaki wanita yang lewat didepan beliau, lalu beliau berkata “tak diragukan lagi, ini dia penyebabnya”. Demikianlah kehidupan para santri di pesantren selalu berupaya untuk menghindari segala hal yang dapat merusak segala upaya dalam mendapatkan ilmu.
Hasil proses pendidikan pesantren adalah orang-orang dengan kualitas terbaik baik dari sisi keilmuan, kemandirian, kematangan personal, leadership hingga pemahaman keagamaan dan akhlaq. Sehingga apabila ada sebuah narasi yang mendeskripsikan akhlaq santri sebagai orang permissif atas pola bebas hubungan laki perempuan dan liberalisme keyakinan maka hal itu adalah fitnah atas akhlaq mulia santri dan kehormatan institusi pesantren. Dan jika ada santri yang berperilaku melampaui batas nilai-nilai akhlaq keislaman yang dipahami para santri selama ini maka mereka adalah para santri keblinger.
Semoga diri kita tetap dibimbing oleh Allah swt untuk mampu menjaga akhlaq mulia dalam semua aktifitas kehidupan dan semoga dijauhkan dari fitnah akhir zaman yang semakin merusak kehidupan. Semoga Allah.swt meridhoi kita semua.
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir al Afkar