Kanal24, Malang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 terkait penghapusan ketentuan presidential threshold 20 persen bagi pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi titik balik dalam sejarah demokrasi Indonesia. Putusan ini diharapkan membawa perubahan signifikan dalam sistem pemilu, membuka peluang lebih besar bagi kader-kader terbaik bangsa.
Titi Anggraini, pegiat kepemiluan sekaligus dosen Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), menyebut putusan tersebut sebagai momen yang luar biasa dan tidak terduga. “Setelah 32 kali permohonan serupa ditolak, akhirnya MK mengabulkan gugatan ini. Ini awal dari perjuangan panjang untuk demokrasi yang lebih inklusif,” ujar Titi dalam podcast For Your Politics, di Kantor RedaksiTirto, Jakarta pada Kamis (09/01/2025).
Latar Belakang Perkara
Gugatan ini diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga—Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka menilai Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena membatasi hak partai politik untuk mengusulkan calon presiden secara mandiri.
Titi mengungkapkan, perjuangan ini telah berlangsung lama. Sebelumnya, 32 permohonan uji materi terkait presidential threshold kandas di MK. Alasan utama penolakan adalah legal standing pemohon, di mana MK menganggap hanya partai politik atau individu yang memiliki hak untuk dipilih yang berwenang menggugat.
Namun, dengan putusan terbaru, MK akhirnya memutuskan bahwa syarat ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara sah bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan, dan inklusivitas politik.
Dampak Putusan
Menurut Titi, penghapusan ambang batas ini membuka ruang kompetisi yang lebih luas, memungkinkan setiap partai politik, termasuk yang kecil, untuk mengusulkan calon presiden tanpa harus berkoalisi secara paksa. Selain itu, langkah ini diharapkan memperkuat peran partai politik sebagai institusi kaderisasi dan regenerasi politik.
“Dengan populasi ratusan juta yang beragam, kontestasi politik harus lebih inklusif. Setiap anak bangsa harus memiliki peluang yang sama untuk maju,” tegas Titi.
PR Demokrasi ke Depan
Meski demikian, Titi mengingatkan bahwa putusan ini bukanlah solusi instan bagi semua permasalahan pemilu di Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah yang menanti, seperti memastikan proses pencalonan lebih transparan, meminimalkan politik transaksional, dan memperbaiki sistem kaderisasi partai.
Putusan MK ini sekaligus menjadi pengingat pentingnya menjaga semangat reformasi dalam setiap kebijakan politik. “Ini baru awal dari perjuangan panjang menuju demokrasi yang lebih adil dan inklusif,” tutup Titi. (nid/trt)