KANAL24, Malang – Setiap ada perubahan besar di manusia itu pasti selalu ditandai oleh adanya perubahan teknologi. Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, Reza Safitri, PH.D. mengutip dari Wilbur Schramm dalam Kuliah Tamu bertema “Manajemen Industri Media di Era Digital” yang diselenggarakan oleh Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya secara virtual, Rabu (27/4/2022)
Wakil Pemimpin Redaksi TV One, Totok Suryanto berbagi pengalaman terkait kehidupan media tak terkecuali kehidupan dunia industri menghadapi keadaan luar biasa, terutama setelah terjadi pandemi Covid-19. Kembali ke dua tahun yang lalu, Presiden Indonesia mengumumkan tanggal 2 Maret bahwa virus Corona memasuki Indonesia. Saat itu, situasi menjadi serba tidak menentu.
“Bahkan dibilang inilah satu perjalanan paling menyedihkan. Dalam konteks ini, karena perubahannya begitu dahsyat dampaknya secara manajerial, secara ekonomi juga sangat besar. Sehingga, kemudian ada perubahan juga di dalam pola kerja, pada perubahan juga di dalam pola masyarakat menyaksikan atau menikmati media dan sebagainya,” kata Totok Suryanto.
Hal inilah yang kemudian menjadi alasan media harus melakukan suatu perubahan yang diistilahkan dirupsi. Hal ini juga diimbangi dengan survei yang menyatakan perkembangan teknologi tercepat, digitalisasi begitu cepat, ditambah dengan pandemi yang mempercepat proses bagaimana media itu terjadi. Pada dasarnya media itu hidup dengan satu kondisi.
Pertama, pada karya yang artinya tenaga di dalam sebuah organisasi perusahaan media itu memiliki banyak orang, terutama media televisi. Misalnya, pada media cetak, bisa satu reporter yang datang. Sementara, media televisi membutuhkan reporter dan cameraman, bahkan editor.
Kedua, di media secara umum adalah pada modal. Secara indirect cost maupun direct cost, secara otomatis menyangkut operasional sehari-hari. Contohnya, media harus memberangkatkan tim ke suatu lokasi yang cukup jauh, seperti ke Gunung Semeru bahkan sampai harus menginap. Hal ini tentu membutuhkan biaya.
Kemudian, yang terakhir adalah pada teknologi. Sebelum pandemi relatif bisa terjaga karena pembaruan atau pemutakhiran energi pada teknologi bisa dilakukan dalam waktu yang sudah ditentukan. Misalnya, kamera yang sudah dibeli saat ini dapat digunakan hingga 5 tahun ke depan. Begitu juga komponen-komponen lain. Namun, dengan kondisi disrupsi banyak yang terkikis karena teknologi sekarang semakin maju.
“Maka, implikasi yang pasti adalah kebebasan kepada dua hal. Yang pertama, soal penggunaannya. Jadi, satu teknologi yang dulu bisa membutuhkan tenaga kerja dua atau tiga orang. Sekarang, satu teknologi, alat baru itu jangan-jangan malah nggak perlu orang,” kata Totok.
Lantas, dari tiga komponen ini. Seperti teknologi berkembang, otomatis orang berkurang. Seharusnya orang bisa berkurang karena diwakili alat yang berkembang yang kemudian mempermudah atau memperkecil konvensi dikeluarkan. Namun, persoalan industri media di Indonesia ini rata-rata tidak siap atau tidak pernah memperkirakan bahwa disrupsi media ditunaikan dengan cepat. Sehingga, kondisi pandemi menyebabkan harus ada rasionalisasi. Rasionalisasi ini menyesuaikan karena teknologi digital begitu mendesak. Jadi, tiga komponen tersebut saling berpengaruh.(nid)