Kanal24, Malang – Generasi Z (Gen Z) yang kini mulai mendominasi pasar tenaga kerja menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam hal soft skills. Meskipun kemampuan memengaruhi (influencing) mereka terbilang cukup baik, keterbatasan dalam komunikasi dan kolaborasi sering menjadi kendala signifikan. Masalah ini terutama muncul akibat kurangnya keterampilan mendengarkan secara aktif (active listening) dan kemampuan menerima umpan balik (feedback) secara konstruktif.
Dalam wawancara dengan seorang narasumber dari bidang sumber daya manusia, sejumlah faktor yang memengaruhi kesiapan Gen Z di dunia kerja diidentifikasi. Tiga penyebab utama mencakup perubahan teknologi yang cepat, ketidaksesuaian antara kompetensi individu dengan kebutuhan perusahaan, serta kelemahan dalam soft skills.
Soft skills seperti komunikasi dan kolaborasi menjadi isu utama bagi Gen Z. Data dari survei terhadap 1.151 responden menunjukkan bahwa aspek seperti komunikasi (communication) dan kolaborasi (collaboration) masih berada di zona merah, menandakan perlunya pengembangan signifikan. Salah satu akar masalahnya adalah kurangnya kemampuan mendengarkan secara aktif.
Active listening, yang merupakan bagian penting dari komunikasi efektif, membutuhkan kemampuan menangkap inti dari pesan lawan bicara dan menunjukkan empati. Namun, survei menunjukkan bahwa banyak anggota Gen Z cenderung fokus pada menyampaikan ide mereka sendiri (influencing) tanpa memahami kebutuhan atau kekhawatiran orang lain. Akibatnya, komunikasi yang terjadi sering kali bersifat satu arah dan kurang efektif.
“Komunikasi itu tidak hanya tentang berbicara, tetapi juga mendengarkan. Banyak Gen Z yang unggul dalam menyampaikan ide melalui presentasi yang menarik, tetapi ketika diminta untuk memahami sudut pandang orang lain, hasilnya masih kurang optimal,” jelas narasumber tersebut.
Masalah ini juga berdampak pada kolaborasi. Dalam lingkungan kerja, kolaborasi tidak hanya mengandalkan kemampuan untuk bekerja bersama, tetapi juga membutuhkan keterampilan menerima feedback dengan baik. Sayangnya, survei menunjukkan bahwa banyak Gen Z merasa sulit menerima umpan balik secara positif. Hal ini menghambat mereka untuk memperbaiki diri dan bekerja secara efektif dalam tim.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Gen Z adalah kecepatan perubahan teknologi. Narasumber menyebutkan bahwa banyak lulusan institusi pendidikan yang tidak siap menghadapi kebutuhan industri yang terus berkembang. “Apa yang diajarkan di kampus tidak selalu relevan dengan teknologi terkini yang digunakan di perusahaan. Oleh karena itu, agility, atau kemampuan untuk belajar dengan cepat, menjadi krusial,” katanya.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, kemampuan belajar yang efektif (learn how to learn) menjadi keterampilan utama yang harus dimiliki oleh Gen Z. Dengan menguasai keterampilan ini, mereka dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan dan tetap relevan di dunia kerja.
Meskipun tantangan ini nyata, harapan untuk peningkatan soft skills Gen Z tetap tinggi. Dengan upaya yang terarah dari pihak individu, institusi pendidikan, dan perusahaan, Gen Z memiliki potensi untuk menjadi generasi pekerja yang tangguh dan adaptif.
“Kami percaya bahwa dengan pelatihan yang tepat, Gen Z dapat mengatasi kelemahan dalam komunikasi dan kolaborasi. Generasi ini memiliki potensi besar, terutama dalam hal kreativitas dan kemampuan memengaruhi. Yang diperlukan hanyalah panduan untuk mengasah kemampuan mereka agar lebih seimbang,” pungkas narasumber.
Gen Z adalah harapan masa depan, dan dengan investasi dalam pengembangan soft skills mereka, dunia kerja dapat menjadi tempat di mana inovasi dan kolaborasi berjalan seiring. (nid/erc)