Kanal24, Malang – Rencana pencabutan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang muncul dalam wacana pemerintah pasca-lobi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, membuat para pengusaha industri alat kesehatan di Indonesia merasa cemas dan gelisah. Kecemasan ini diungkapkan secara gamblang oleh Presiden Direktur PT Graha Ismaya, Masrizal A Syarief dalam forum diskusi KAGAMA Leaders Forum – Trump Effect, yang disiarkan secara daring melalui kanal YouTube info KAGAMA.
Masrizal menggambarkan bahwa perkembangan industri alat kesehatan di Indonesia saat ini layaknya seorang bayi yang baru lahir. Industri ini mulai menunjukkan pertumbuhan signifikan setelah pandemi Covid-19, yang mendorong pemerintah memberikan ruang lebih luas bagi produsen lokal.
Baca juga:
Manfaat Naik Turun Tangga Setiap Hari Bagi Kesehatan
“Sebelum Covid-19, jumlah industri alat kesehatan hanya sekitar 200 perusahaan. Tapi setelah pandemi, melonjak jadi 800 perusahaan dengan berbagai skala,” ujarnya.
Tak hanya dari sisi jumlah perusahaan, kebijakan TKDN juga dinilai sukses menurunkan ketergantungan Indonesia pada impor alat kesehatan. Masrizal mencatat, sebelum pandemi, sekitar 90 persen kebutuhan alat kesehatan Indonesia masih berasal dari luar negeri. Namun berkat kebijakan TKDN, kini sudah 50 persen kebutuhan tersebut mampu dipenuhi oleh industri dalam negeri, khususnya untuk kategori teknologi rendah hingga menengah.
“Sekarang kita saatnya naik ke teknologi menengah ke atas. Tapi kalau TKDN dihapuskan, itu seperti menghentikan pertumbuhan bayi yang baru belajar berjalan,” kata Masrizal. “Tensi kami langsung naik, denyut nadi 120,” tambahnya, menggambarkan kegelisahan para pelaku industri saat isu penghapusan TKDN mengemuka.
Kekhawatiran ini muncul seiring dengan meningkatnya tekanan diplomatik dari AS terhadap Indonesia, di mana Donald Trump mengusulkan agar kebijakan TKDN dihapuskan sebagai bagian dari penyesuaian terhadap aturan perdagangan bebas yang lebih liberal.
Evaluasi Kuota dan TKDN: Antara Kepentingan Nasional dan Global
Sementara itu, di sisi lain, sejumlah akademisi menilai dinamika ini dapat dijadikan momen reflektif untuk mengevaluasi kebijakan perdagangan nasional. Fithra Faisal Hastiadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan tekanan tarif Trump sebagai dorongan untuk meninjau ulang sejumlah kebijakan, termasuk kuota impor dan standar TKDN.
“Import kuota adalah salah satu kebijakan perdagangan yang paling buruk. Bukan hanya menyerap surplus konsumen, tetapi juga rawan penyimpangan karena ada potensi korupsi dalam proses pemberian lisensi impor,” ujar Fithra dalam diskusi bersama Center for Indonesian Policy Studies.
Ia juga menekankan bahwa TKDN yang terlalu tinggi dapat menjadi penghambat dalam integrasi industri nasional ke dalam jaringan produksi regional. Fithra menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pendekatan sektoral dalam menerapkan TKDN, sehingga tidak semua industri terbebani standar tinggi yang justru dapat menurunkan daya saing mereka.
“TKDN perlu dibuat lebih fleksibel. Harus disesuaikan dengan kebutuhan sektor. Beberapa sektor strategis tentu tetap harus dilindungi, tapi jangan sampai menutup peluang untuk partisipasi dalam jaringan global,” tambahnya.
Keseimbangan Baru dalam Kebijakan Industri
Polemik seputar keberlanjutan TKDN menggambarkan dilema yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kemandirian industri dalam negeri sembari tetap membuka diri terhadap perdagangan global. Di satu sisi, penguatan industri lokal seperti alat kesehatan jelas membutuhkan perlindungan dan dukungan kebijakan. Di sisi lain, keterlibatan dalam jaringan produksi internasional memerlukan penyesuaian kebijakan agar tidak tertinggal dalam kompetisi global.
Baca juga:
Dosen UB Sosialisasi Kesehatan dan Digitalisasi Bumdes di Pamekasan
Bagi pelaku industri seperti Masrizal, keberadaan TKDN bukan hanya sekadar regulasi, tetapi merupakan landasan bagi tumbuhnya kepercayaan pasar terhadap industri alat kesehatan nasional.
“Kalau TKDN dicabut, bagaimana industri yang baru lahir ini bisa survive? Ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga kedaulatan industri kesehatan nasional,” tegasnya.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah. Apakah akan tetap teguh menjaga TKDN sebagai fondasi industri nasional, atau akan membuka keran liberalisasi demi memenuhi tekanan global? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan masa depan industri kesehatan Indonesia, yang baru saja bangkit dari ketergantungan panjang pada produk asing. (nid)