Kanal24, Malang – Dunia sepak bola masih berduka, tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur (1/10/2022) iakan selamanya diingat sebagai salah satu tragedi kemanusiaan dalam dunia sepak bola yang paling mematikan sepanjang sejarah.
Associate Professor in General and Experimental Psychology, Universitas Brawijaya, Cleoputri Al Yusainy, mengatakan tragedi kemanusiaan yang dialami oleh supporter klub sepak bola yang berjuluk Singo Edan tersebut merupakan gambaran bahwa masyarakat kita hanya melihat kerumunan massa sebagai suatu entitas, bukan sebagai proses. Kajian yang Cleo lakukan menekankan pentingnya memahami perilaku kerumunan massa sebagai suatu proses.
“Didalam proses ini terdapat assembly-nya, ada pembentukannya, kemudian di dalamnya juga ada ngumpulnya terus kemudian pembubarannya. Kerumunan massa tidak bisa dipandang sebagai suatu entitas. Nah sejak awal proses terbentuknya kerumunan massa ini, sudah harus dipetakan dulu. Orang-orang yang kemudian menjadi penonton dalam hal ini sepak bola itu seperti apa.”, jelas Cleo kepada Kanal24 (5/10/2022) usai terbitnya artikel yang ditulisnya bersama Jonatan A. Lassa, akademisi dan peneliti dari Charles Darwin University, Australia, bertajuk Tragedi Stadion Kanjuruhan: Kenapa dan Bagaimana Stampede Menelan Begitu Banyak Korban Setelah Kompetisi Sepak Bola? (4/10/2022).
Cleo menjelaskan setiap orang memiliki motivasi atau tujuan yang ingin dicapai saat menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion sehingga fungsi pemetaan adalah untuk memberikan gambaran atas apa yang akan terjadi pada kerumunan massa dari awal hingga akhir pertandingan.
“Jadi apa ya, sudah terlalu terlambat begitu ketika antisipasi baru dilakukan pada saat akan bubar kemudian muncul yang namanya kerusuhan begitu,” ucapnya.
Menurut Cleo, negara-negara maju telah tuntas membahas tentang crowd control termasuk didalamnya studi tentang psikologi massa, kedaruratan massa, hingga studi pelayanan publik untuk mengantisipasi dan mengendalikan kerumunan massa.
Tangkap layar Associate Professor in General and Experimental Psychology, Universitas Brawijaya, Cleoputri Al Yusainy, S.Psi., M.Psi., Ph.D., Psikolog.,(Dinia/Kanal24)
“Kajian psikologi massa menyebut bahwa ketika individu berkumpul, tidak penting lagi kondisi yang ada pada dirinya, yang penting adalah interaksi antar individu satu dengan individu yang lain yang membentuk kerumunan. Interaksi adalah kata kunci yang harus diantisipasi.” jelasnya.
Tragedi di Stadion Kanjuruhan menurut Cleo berkaitan dengan fenomena panik massal. Ketidakmampuan dalam memetakan, mengantisipasi dan mengendalikan kerumunan massa terutama saat sedang terjadi kepanikan tersebut melahirkan stampede.
“Bisa dibayangkan ini terjadi stampede, yaitu ketika kerumunan itu kocar-kacir, panik, lari, desak, dorong, himpit-himpitan, saling injak dan juga kadang saling serbu, PLDDHIS. Ini ciri yang nyaris universal ketika ada suatu kondisi yang tidak terduga terjadi orang lagi kumpul beramai-ramai terus kemudian terjadi kepanikan seperti itu.” terangnya.
Cleo menyayangkan penggunaan gas air mata dan jumlah penonton yang melebihi daya tampung stadion sebab keduanya merupakan faktor pemicu kepanikan massal.
“Gas air mata itu kan bukan air, rasanya itu sangat amat pedas dan baunya juga tidak karuan, mereka yang di tribun terlihat tidak ingin terlibat dengan yang ada dilapangan, ingin mereka selesai langsung pulang baik-baik seperti itupun juga akan terpancing kepanikan saat mendapat pemicu gas air mata itu.” katanya.
Ia menambahkan bahwa jumlah penonton yang melebihi kapasitas stadion, atau bisa di sebut dengan crowd, dapat memicu stress. Akibatnya, individu munculkan perilaku yang merugikan tanpa memikirkan akibatnya terhadap orang lain.
“Crowded itu kan berarti tidak ada jarak ya, padat sekali. Ketika orang merasa jarak pribadinya sudah tidak ada, ditambah kenaikan suhu, kondisi yang tidak kondusif, tidak ada jarak, akan menimbulkan stres,” ucapnya.
“Stres ini sifatnya menular, ketika satu orang merasakan stres, dan menunjukkan perilaku yang demikian, kita sebagai makhluk ultra-sosial, cenderung meniru perilaku orang disekitarnya. Apalagi kalau orangnya banyak. Kalau ia melihat orang ini lari-lari, maka ia cenderung akan melakukan perilaku tersebut tanpa berpikir lebih jauh.” imbuhnya.
Cleo menekankan pentingnya mengantisipasi density (kepadatan) kerumunan, bukan kuantitas kerumunan. Kuantitas massa yang banyak namun densitasnya tidak terlalu padat maka cara mengendalikannya relatif mudah seperti menggunakan pengeras suara, penunjuk arah, atau rambu-rambu.
Berbeda dengan kondisi dimana densitas kerumunan meningkat, maka pengendaliannya membutuhkan kecapakan petugas di lapangan.
“Selain petugas lapangan itu membutuhkan pelatihan, penyelenggara kegiatan baik itu middle maupun top management ini juga perlu tahu gitu lo profil tentang kegiatan yang sedang dilaksanakan, massa yang berkumpul itu seperti apa dan kemudian memikirkan tiga proses tadi ya dari awal pembentukan kerumunan, pengumpulannya hingga pembubarannya nanti seperti apa.” jelasnya.
“Persyaratan utamanya memang tidak boleh terlalu dense, terlalu padat ketika terdapat kerumunan massa, seperti itu,” pungkasnya.