oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Salah satu konsepsi etik dalam komunikasi profetik adalah membalas keburukan dan kejahatan yang dilakukan oleh orang lain dengan kebaikan. Setiap orang dalam berenteraksi dengan sesama manusia tentu dihadapkan pada dua realitas yaitu yang dia sukai dan tidak dia sukai, disenangi dan dibenci, suasana harmonis dan konflik. Tentu dalam realitas demikian, setiap orang memiliki pilihan bersikap yaitu bersabar atau marah, bersikap keras atas bersikap lemah lembut, memaafkan atau mendendam, membalas keburukan atau memberi kebaikan. Pilihan-pilihan ini akan hadir dalam diri seseorang dan hanya mereka yang memiliki konsep diri yang baik yang akan melakukan tindakan terbaik.
Pendekatan profetik memberikan suatu arahan tindakan dalam menghadapi realitas yang demikian yaitu lebih mengedepankan kebaikan dengan memberi balasan kebaikan dan pemaafan atas setiap keburukan adalah jauh lebih baik dari pada melakukan tindakan ssbaliknya. Sebagaimana ditegaskan dalam teks sumber wahyu :
وَلَا تَسۡتَوِي ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُۚ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِي بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٞ كَأَنَّهُۥ وَلِيٌّ حَمِيمٞ
Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. (QS. Fushilat, Ayat 34)
Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa Ibnu Abbas mengatakan “Allah memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang berbuat jahil, dan memaafkan ketika ada orang yang berbuat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan syaitan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Kemudian Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang mampu melakukan seperti itu adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa. Para pelaku komunikasi profetik adalah jiwa yang dipenuhi dengan penerimaan, pemaafan dan kesabaran.
Perspektif komunikasi profetik mengarahkan suatu tindakan agar seseorang tidak membalas sikap buruk dengan keburukan yang serupa melainkan dibalas dengan kebaikan dengan harapan bahwa orang tersebut nantinya dapat berubah menjadi lebih baik. Hal ini terindikasi dalam penutup akhir teks ayat bahwa apabila keburukan dibalas dengan kebaikan maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara orang yang tadinya ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, dalam tafsirnya “Apabila kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu, maka kebaikan itu akan menuntun dia untuk mencintai dan condong kepadamu hingga dia berubah seolah-olah sahabat dekatmu karena kasih sayang dan kebaikannya”.
Hal ini karena pendekatan komunikasi profetik lebih menekankan pada terciptanya realitas komunikasi yang harmonis.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah suka memaafkan orang badui yang berusaha membunuhnya. Sebagaimana disampaikan oleh Jabir bin Abdullah meriwayatkan, bahwa dia berangkat berperang bersama Rasulullah ke Nejd, Ketika Rasulullah kembali, mereka turut kembali bersama beliau. Mereka berhenti di tengah sebuah lembah yang banyak pohonnya. Orang-orang mencari keteduhan di bawah pepohonan yang berbeda dan Rasulullah s berteduh di bawah sebatang pohoh dan menggantungkan pedang beliau di pohon tersebut. Jabir mengatakan, “Kami semua tidur dan Rasulullah memanggil kami, kami pun datang dan mendapati seorang Badui sedang duduk di sebelah beliau (namanya Ghaurats bin Al-Harits). Rasulullah bersabda, Orang ini mengambil pedangku saat aku tidur, dan aku bangun mendapati pedang itu ada di tangannya, terhunus.” ‘Apakah kamu takut kepadaku? Aku jawab, Tidak.’ Dia bertanya lagi, Siapa yang akan melindungimu dari aku? Aku katakan, ‘Allah’, tiga kali. Dia pun akhirnya menyarungkan pedang.’ Dan Rasulullah g tidak menghukumnya”. Dia bertanya kepadaku, Dalam hadits lain, “Pedang itu jatuh dari tangannya, lalu Rasulullah mengambilnya dan bertanya, Siapa yang akan melindungimu? Orang itu menjawab, Jadilah engkau sebaik-baik pembalas.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku adalah Utusan Allah? Dia menjawab, ‘Aku berjanji tidak akan memerangimu dan tidak akan bersama suatu kaum yang memerangimu.’ Rasulullah pun membiarkannya pergi, dan dia kembali ke kaumnya seraya mengatakan. Aku datang kepada kalian dari sebaik-baik manusia’. (HR. Hakim no.4322)
Terdapat banyak contoh keteladanan sikap Nabi dalam memaafkan orang yang berbuat keburukan dan kejahatan atas dirinya, bahkan Nabi membalasnya dengan kebaikan. Kesemua itu adalah hasil dari formulasi konsep diri yang baik atas pemahaman teks sumber wahyu, sehingga dikatakan bahwa perilaku Nabi adalah implementasi sempurna dari teks sumber wahyu (alquran). Sehingga layak bahwa perilaku Nabi (profetik) sebagai landasan dalam kajian komunikasi profetik itu sendiri. Komunikasi profetik tidaklah hadir hanya untuk mengklasifikasi realitas sebagaimana pendekatan lainnya yang jauh dari kesan etis. Hal ini dapat dipahami bahwa barat berpandangan bahwa norma etik sangat bersifat lokalitas sesuai dengan realitas dimana budaya itu hidup. Sehingga nilai kebaikan dianggap sebatas produk budaya yang dibangun atas subjekifitas individu sehingga tidak memiliki nilai universalitas yang mengikat, sebagaimana pula mereka memahami bahwa ilmu itu bebas nilai dan subjektif.
Hal ini tentu berbeda dengan sudut pandang pendekatan profetik yang memahami bahwa mengingat sumber dan landasan utama kajiannya adalah berasal dari sumber wahyu, baik dari alquran maupun al hadits yang bersifat absolut maka nilai-nilai yang dibangun pun bersifat mengikat dan berlaku universal. Sehingga komunikasi profetik dipahami bukan hanya sekedar sebuah pendekatan dan sudut pandang, namun lebih dari pada itu juga merupakan konsepsi etis yang mengatur serta mengarahkan tindakan manusia. Karena sebuah ilmu yang baik adalah manakala mampu mengarahkan para pelakunya semakin memahami dan mampu bertindak yang terbaik. Itulah ilmu yang bermanfaat (al ilmu an naafi’).
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB