Kanal24, Malang – Kekerasan seksual dan perundungan bisa terjadi kepada siapa saja, dimana saja, dan kapan saja tanpa memandang jenis kelamin baik itu perempuan maupun laki-laki. Hal ini disampaikan oleh Ketua Pusat Konseling Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan Universitas Brawijaya (UB) Ulifa Rahma S.Psi., M.Si., Psikolog.
“Banyak sekali kasus-kasus terkait pelecehan termasuk kekerasan seksual dan juga perundungan di Perguruaan Tinggi. Bisa terjadi dimana saja; di kampus, kegiatan organisasi, pada saat bimbingan perkuliahan, pada saat kalian (mahasiswa) bekerja kelompok, dan lain-lain. Bisa terjadi kepada siapa saja. Bisa terjadi antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa senior dan junior, mahasiswa dengan mahasiswa lain atau dengan tenaga pendidik dan lain-lain, pada laki-laki maupun perempuan,” ungkap Ulifa Rahma.
Kasus kekerasan seksual itu tidak terbatas hanya kepada perempuan saja, meskipun di Indonesia fenomena kasus kekerasan seksual lebih condong terjadi kepada perempuan tetapi laki-laki pun bisa turut menjadi korban kekerasan seksual.
Ulifa menyampaikan bahwa di Indonesia kasus kekerasan seksual sudah menjadi kasus yang kerap terjadi dan ramai diperbincangkan, bahkan bisa terjadi di lingkungan kita. “Dengan memahami materi ini (Kekerasan Seksual dan Perundungan) sedikitnya kalian (mahasiswa) mempunyai pemahaman dan kesadaran, tahu apa yang harus teman-teman (mahasiswa) lakukan ketika ada kasus serupa dan bagaimana melakukan pencegahan,” lanjutnya.
Di Universitas Brawijaya landasan hukum yang membahas kekerasan seksual dan perundungan diatur dalam Peraturan Rektor UB No. 20 Tahun 2020 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan.
“ Di Universitas Brawijaya sendiri ada Peraturan Rektor yang mengharuskan setiap fakultas harus ada unit layanan tindak pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sedangkan di pusat Universitas Brawijaya di bawah Kemahasiswaan itu ada pusat konseling dan pencegahan kekerasan seksual dan juga perundungan,” sampai Ulifa.
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini juga diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Selain itu, diatur pula pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Banyak sekali korban kekerasan seksual itu tidak mendapat keadilan yang layak. Jadi, pelakunya tidak ditindak secara hukum dengan tepat. Sehingga ini Undang-Undang terbaru Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Itu (tindak pidana kekerasan seksual) seperti apa sudah dijelaskan secara detail,” lengkapnya.
Ketua Pusat Konseling Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perundungan UB itu kemudian menggarisbawahi empat hal penting yang harus diperhatikan mahasiswa mengenai kekerasan seksual yakni pelaku-korban, ketidaksetujuan korban, ancaman pelaku, dan dampak jangka pendek dan panjang yang diterima korban.
“Misalkan, ada penyintas (korban) kekerasan seksual dan perundungan. Itu masa ada dampaknya sih bu? Palingan trauma sebentar. Ternyata tidak. Dampak jangka panjangnya mereka (penyintas) mengalami masalah gangguan kesehatan mental, mereka bisa mengalami post-traumatic syndrome disorder. Jadi, mereka trauma; mereka cemas: dan mengalami gangguan panik, misalkan, teringat pada situasi yang dulu pernah dialami. Ada juga depresi bahkan yang lebih parah ada juga yang keinginan tindakan bunuh diri,” jelasnya.
Korban kekerasan seksual, menurut Ulifa, tidak hanya mengalami dampak secara psikis tetapi juga dampak secara fisik, seperti mengalami luka pada tubuh atau organ reproduksi atau kehamilan yang terjadi akibat pemerkosaan. Secara sosial seorang penyintas merasa eksklusif dari lingkungan sosialnya.
Psikolog UB tersebut mengharapkan adanya kesadaran dari mahasiswa untuk lebih memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan memahami perasaan korban kekerasan seksual.
Terkait pelaku tindak kekerasan seksual, Ulifa menjelaskan bahwa pelaku juga bisa saja memiliki latar belakang individu sebagai korban kekerasan seksual ataupun perundungan, anak yang terlalu bebas tanpa adanya batasan dari orang tua serta adanya konflik keluarga. Sedangkan dari eksternal, pelaku dapat muncul dari kelompok-kelompok yang melakukan bullying terhadap yang lain baik dari pelaku maupun dari korban.
“Kalau pelaku tidak segera ditangani, tidak segera diarahkan ke profesional, tidak diberikan tindak yang jelas itu akan berpotensi menjadi pelaku. Jadi potensi, dia bisa melakukan kekerasan itu di kemudian hari bahkan bisa menjadi pelaku kekerasan seksual,” ungkap Ulifa.
Dia juga menjelaskan upaya untuk membantu korban apabila terjadi kekerasan ditempat umum yakni direct, distract, delegate, delay, dan document. Selain itu, dapat menjadi bystander atau pendamping korban. (agt)