Kanal24, Trenggalek – Indonesia menyimpan lebih dari 6 dari 7 spesies penyu dunia, namun populasinya terus menurun akibat perburuan, kerusakan habitat pesisir, serta rendahnya literasi konservasi di tingkat masyarakat. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat penyu telah masuk kategori satwa dilindungi kritis dan memerlukan kolaborasi lintas sektor agar tidak benar-benar punah dalam beberapa dekade ke depan.
Di sisi lain, kawasan pesisir juga berhadapan dengan tantangan ekonomi masyarakat yang masih sangat bergantung pada sektor primer dan belum sepenuhnya memiliki instrumen pemberdayaan alternatif yang berkelanjutan.
Urgensi inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Program Profesor Mengabdi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya (UB) di Pantai Taman Kili-Kili, Desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek. Program ini tidak hanya berfokus pada penguatan konservasi penyu, tetapi juga membangun kemandirian ekonomi melalui inovasi ekowisata berbasis masyarakat.
Program yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Daduk Setyohadi, MP bersama anggota Prof. Dr. Ir. Dewa Gede Raka Wiadya, M.Sc dan Wahidah Kartikasari, S.Pi., M.Si ini menghadirkan penguatan Pokmaswas melalui pengembangan potensi kopi lokal sebagai daya tarik wisata dan sumber pendapatan baru. Kelompok yang selama ini dikenal konsisten menjalankan konservasi penyu kini diperkuat melalui pelatihan barista, penyediaan peralatan kopi untuk Cafe Kili-Kili, hingga pendampingan proses pengurusan PIRT dan sertifikasi halal.

“Penguatan wisata tukik sampai wisata kopi menjadi brand di tempat ini. Keterampilan kelompok dalam menyajikan kopi menjadi magnet bagi wisatawan. Program pengabdian ini akan terus mendampingi hingga proses packaging dan perizinan, agar kopi Kili-Kili menjadi produk unggulan dan oleh-oleh daerah,” ujar Prof. Daduk Setyohadi.
Integrasi wisata edukasi pelepasan tukik dan wisata kopi menjadi model ekowisata kreatif yang memberi nilai tambah bagi masyarakat. Bantuan peralatan kopi memungkinkan pengolahan kopi V60 berkualitas bagi pengunjung yang menikmati pengalaman wisata sambil mendukung konservasi.
Selain pengembangan produk lokal, program ini juga memperkuat aktivitas konservasi melalui kegiatan adopsi tukik dan pelepasan 100 ekor tukik Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) sebagai simbol komitmen menjaga keberlanjutan populasi penyu.
“Melalui adopsi tukik ini, kami berharap dapat berkontribusi lebih dalam perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan berkelanjutan. Komitmen kami adalah melindungi penyu sebagai warisan dunia,” tegas Prof. Daduk.
Sementara itu Ketua Pokmaswas Pantai Kili-Kili, Ari Gunawan, menyampaikan bahwa dukungan akademisi telah membuka perspektif baru tentang bagaimana konservasi dapat bersinergi dengan inovasi ekonomi desa.
“Kami berterima kasih kepada Universitas Brawijaya yang mendampingi kami sejak awal merintis sampai sekarang. Sinergi ini membuat masyarakat semakin percaya diri untuk mengembangkan wisata konservasi,” ujarnya.
Sekretaris Desa Wonocoyo, Eko Margono, menambahkan bahwa branding wisata tukik dan kopi berpotensi menjadi ikon baru Trenggalek dalam industri wisata berbasis lingkungan.
Kolaborasi multipihak ini menjadi contoh konkret implementasi pembangunan pesisir yang tidak hanya menyelamatkan ekosistem, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat lokal menuju keberlanjutan.(Din)










