Kanal24, Malang – Dalam upaya mengubah stigma buruk dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai bentuk kejang dan hubungannya dengan epilepsi serta kanker, dua pakar kesehatan, yakni Dr. dr. Shinta Okta Wardhani, Sp.PD, K-HOM, Konsultan Hematologi Onkologi Medik dan Dr. dr. Machlusil Husna, Sp.S (K), Divisi Neuroepilepsi berbagi ilmu pengetahuan bersama Kanal24 pada Kamis (11/07/2024).
Dr. dr. Machlusil Husna, Sp.S (K) dari Divisi Neuroepilepsi menyampaikan pentingnya edukasi. “Kita perlu mengenalkan berbagai macam bentuk kejang di mana kejang itu sebetulnya tidak hanya epilepsi. Yang kedua, kita ingin menanamkan pada masyarakat sesuai tema acara kita, yaitu menghilangkan stigma yang melekat pada penderitanya. Kita harus memberi edukasi pada masyarakat supaya stigma ini berubah dan membantu kehidupan pasien epilepsi,” ujarnya.
Dr. Machlusil menekankan bahwa kejang bisa menjadi manifestasi pertama dari beberapa kondisi serius, termasuk kanker otak. “Angka kejadian kejang pada pasien kanker cukup tinggi, bisa mencapai 20% hingga 40% pasien kanker akan mengalami kejang minimal satu kali seumur hidup. Dari jumlah tersebut, 20% bisa berkembang menjadi epilepsi yang disebabkan oleh kanker. Penting untuk diingat bahwa kejang bisa menjadi manifestasi pertama dari tumor otak,” tambahnya. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hubungan antara kejang dan kanker.
Dr. dr. Shinta Okta Wardhani, Sp.PD, K-HOM, Konsultan Hematologi Onkologi Medik, juga menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat tentang kanker. “Kesadaran masyarakat terhadap kesehatan meningkat, namun untuk kanker, masih ada rasa takut dan khawatir untuk melakukan pemeriksaan atau deteksi dini. Banyak masyarakat yang menghindari pemeriksaan karena takut mengetahui hasilnya,”
Mitos yang dominan di masyarakat seringkali menghalangi mereka untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Mitos dan kesalahpahaman tentang epilepsi juga masih banyak terjadi. Dr. Machlusil mengungkapkan bahwa mitos-mitos seperti epilepsi sebagai penyakit kutukan atau menular lewat air liur masih ada, bahkan di kalangan orang dengan pendidikan tinggi.
“Makanya kita ingin kegiatan seperti ini menyebarluaskan informasi yang benar. Epilepsi adalah penyakit kelistrikan otak yang sama dengan penyakit lainnya seperti jantung atau kanker, tapi mendapat stigma buruk karena mitos,” jelasnya. Edukasi yang terus-menerus diperlukan untuk menghilangkan stigma ini.
Dalam beberapa kasus, pasien kanker datang dengan keluhan kejang terlebih dahulu sebelum diketahui bahwa mereka menderita kanker. Dr. Shinta menjelaskan bahwa beberapa pasien yang mengalami kejang diperiksa oleh Dr. Machlusil dan kemudian diketahui bahwa sumber kejangnya adalah kanker.
“Kanker bisa berasal dari otak sendiri atau sudah menyebar dari tempat lain seperti paru-paru atau usus. Kadang pasien tidak mengetahui bahwa mereka memiliki kanker di tempat lain dalam tubuh mereka,” tuturnya.
Kedua dokter sepakat bahwa meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat adalah kunci untuk mengatasi stigma dan mitos seputar epilepsi dan kanker. Dengan informasi yang benar dan upaya deteksi dini, diharapkan kualitas hidup pasien dapat meningkat dan mereka bisa mendapatkan pengobatan yang tepat pada waktunya. (nid)