Kanal24, Malang – Komitmen Indonesia dalam pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terus didorong agar dampak perubahan iklim dapat direduksi. Sebagai organisasi yang didirikan untuk memberikan edukasi kepada para profesional dalam mengelola serta melindungi sumber daya alam dan sumber daya sosial masyarakat sesuai dengan panduan dan prinsip profesional, Institute of Certified Sustainability Practicioners (ICSP), bekerja sama dengan National Center for Corporate Reporting (NCCR) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menggelar Seminar Nasional Keberlanjutan, dengan mengusung tema Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK), Sabtu (14/01/2023), di Gedung F Lantai 7 FEB UB, Malang.
Seminar ini dilatarbelakangi berbagai upaya dalam pengendalian GRK melalui Protokol Kyoto, namun Kesepakatan Paris 2015 dianggap sebagai momentum untuk mengendalikan emisi GRK secara lebih terstruktur, terencana dan penuh komitmen oleh masyarakat global.
Masing-masing negara telah menyatakan komitmen penurunan emisi GRK dan Indonesia berjanji menurunkan Emisi GRK sampai tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri atau hingga 41% jika tersedia bantuan internasional.
Keseriusan pemerintah Indonesia untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ditunjukan dengan dikeluarkannya berbagai regulasi diantaranya, Tatalaksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon yang diatur melalui Permen LHK No 21/2022, 21 Oktober 2022 sebagai aturan pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
Chairman Board of Director ICSP, Prof. Eko Ganis Sukoharsono Mcom (Accy), Mcom-Hons, PhD, CSRA menyampaikan bahwa kegiatan ini digelar bagi sejumlah 2463 anggota ICSP di Asia Pasific yang berperan aktif dalam upaya keberlanjutan. Menurutnya Seminar Nasional ini merupakan satu upaya untuk melakukan implementasi dan desiminasi yang lebih intensif berkaitan dengan aspek gas rumah kaca.
Sementara itu Rektor Universitas Brawijaya, Prof Widodo, S.Si.,M.Si.,Ph.D.Med.Sc, menyampaikan antusiame terhadap isu sustainability. Menurutnya persoalan emisi ini di satu akibat usaha-usaha manusia, namun di sisi lain sebenarnya bumi juga mengalamai proses recovery.
“Dunia ini sebenarnya sudah didesain memiliki siklus secara terus menerus sehingga survival sustainabilty dari bumi itu akan tetap terjaga. Namun ketika karbon terlalu over sehingga tidak mampu di-recycle, nah ini yang jadi masalah,” Prof. Widodo menuturkan.
Pada kesempatan ini Prof. Widodo mengingatkan bahwa penyuplai oksigen terbanyak justru dari lautan, sekitar 60-85 persen.
“Jika kita maintanance quality dari perairan akan menjadi bagian penting dari sustainability wilayah kita. Jangan sampai perairan kita rusak karena ulah manusia,” tegasnya.
Universitas Brawijaya sangat berkomitmen dalam mendorong pengurangan emisi karbon, seperti dengan keberadaan UB Forest,yang tidak hanya sebagai hutan produksi namun juga dalam menjaga ekosistem di dalamnya.
Selain itu UB juga aktif dalam penanaman pohon melalui kegiatan tetenger bumi, dan program penghijauan ini akan diterapkan di berbagai tempat melalui program mahasiswa mengabdi 1000 desa.
Rektor juga menjelaskan bahwa UB telah melakukan berbagai macam inovasi seperti mengelola sampah menjadi energi. Hal ini diimplementasikan melalui banyak penelitian tentang green energy.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional KLHK, Dr. Wahyu Marjaka, M.Eng, menilai bahwa peran perguruan tinggi dalam pengurangan emisi melalui mekanisme Nilai Ekonomi Karbon ini sangat penting sebagai sumber scientific. Ia menegaskan bahwa dalam setiap kebijakan KLHK tidak pernah lepas dari kolaborasi dengan perguruan tinggi.
“Kita harus mempunyai kolaborasi yang semakin kuat dengan perguruan tinggi. Kami sudah melihat contohnya di Brawijaya ini dengan UB Forest. Apalagi sudah ada proposal dari Pak Rektor kepada KLHK untuk meminta sekian ratus hektar lagi di wilayah Malang Selatan,” ungkapnya.
Dr. Wahyu Marjaka berharap program yang dikembangkan UB di UB Forest dan Malang Selatan akan menjadi Modal Scientific Base yang lebih kuat. (din)