KANAL24, Malang – Giri Suprapdiono mengibaratkan revisi UU KPK yang telah disahkan seperti tragedi 9/11 WTC. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK, Giri Suprapdiono yang hadir sebagai pembicara dalam FGD hari ini (31/10/2019) di FH UB yang mengambil tema Menuju KPK yang Lebih Kuat.
“Saya bilang negara ini sudah bukan negara hukum, tetapi negara politik. Karena, keputusan-keputusan yang diambil saat ini adalah keputusan politik,” terang Giri.
Lanjutnya, di dalam UU No. 19 Tahun 2019, KPK berwenang menangani penyelenggara negara atau penegak hukum. Kemudian, di UU No. 30 Tahun 2002 di penjelasan, yang dimaksud dengan penyelenggara negara tercantum di UU No.28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara, yakni DPRD, dan pimpinan perguruan tinggi. Penjelasan itu hilang di UU yang baru. Artinya, DPRD tidak kena OTT lagi. Padahal, Presiden tidak meminta itu.
Pimpinan KPK baru yang akan masuk, kewenangannya sudah hilang. Bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum.
“Jadi, pimpinan KPK udah kaya mandor nanti, kewenangan penyidik dan penuntut umum melekat di penyidik dan penuntut umum. Pimpinannya bukan penyidik atau penuntut umum, bahkan bukan pemimpin tertinggi di lembaga KPK,” tambahnya.
Presiden meminta adanya dewan pengawas. Dewan pengawas yang ideal, seperti Hongkong yang tidak masuk ke dalam struktur. Wajar jika ada check and balance, tapi kalau dewan pengawas masuk ke struktur memang agak ribet. Orang besar atau orang sepuh, negarawan kemudian harus setiap hari menerima table-tabel nomor yang akan disadap, list yang akan digledah dan disita. Bisa dibayangkna berapa waktu yang akan tersita.
Ketika pegawai KPK menjadi ASN, dampak hukumnya sesuai dengan yang di KUHAP tunduk di pembinaan dan koordinasi kepolisian. KPK semakin tidak mandiri.
Lembaga korupsi dikatakan gagal jika kurangnya komitmen politik, kurang sumber daya baik SDM maupun anggaran. Anggaran KPK untuk program, tidak sampai 300 M padahal seluruh Indonesia. Kemudian, strategi yang salah contohnya pencegahan lebih diutamakan daripada penindakan. Bukan seperti itu, strategi yang benar itu 3P harus dilakukan secara bersamaan, yakni penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Di Hongkong dan Singapore, pencegahaan korupsi yang baik itu adalah penindakan yang efektif dan terus menerus. Untuk pendidikan, dilakukan FGD-FGD bersama mahasiswa dan akademisi membahas masalah-masalah dan bersama-sama mencari solusinya.
“Regulasi perundangan tidak mencukupi, KPK hanya bisa menangani penyelenggara dan penegak hukum, bagian yang paling sulit kalau kita berhadapan dengan penegak hukum lain. Kita harus berteman, tetapi sesuai mandat kita harus menangkap mereka. Kalau di negara lain, pemberantasan korupsi dilakukan oleh satu lembaga. Tapi, disini kita berkompromi dengan 3 lembaga, polisi, KPK, dan jaksa saling bekerja sama tapi yang satu harus bisa nangkap yang lain,” jelasnya.
Regulasi yang tidak memadai, swasta dengan swasta tidak ditangani oleh KPK. Kejahatan pemilu, ada berapa tempat yang blank spot, pengurus partai itu bukan penyelenggara, sehingga KPK tidak bisa campur tangan. Kurangnya dukungan publik, adanya framing tentang KPK yang taliban, perlu dipahami bahwa taliban disini bukan dalam konteks agama, tetapi KPK punya idealisme secara “radikal” untuk menjaga independensi.
Adanya poin bekerja sendirian, ada pasal di UU yang tidak ada di penegak hukum yang lain, dan itu membuat KPK sulit bekerja. KPK agak asosial, penyebabbanya dilarang bertemu dengan pihak-pihak yang terkait kasus baik langsung ataupun tidak langsung dalam kondisi apapun. Terkait aturan itu, tidak dijelaskan siapa saja pihak yang dimaksud, apakah saksi atau tersangka.
Terjadinya korupsi di penegak hukum dan peradilan. Polisi, jaksa, dan KPK menangani kasus dengan susah payah, begitu diputus hakim hukumannya rendah atau tidak bersalah atau hukum memutus secara baik masuk penjara, tetapi kalau dikorupsi sama sipir penjara dengan menyediakan layanan plus-plus di dalam penjara, sama saja bohong. (meg)