Kanal24, Malang – Kasus kekerasan seksual (KS) bukan merupakan hal baru di Indonesia. Banyaknya kasus yang terjadi, tidak serta merta mencerminkan realita di masyarakat. Hal ini dikarenakan masih banyak kekerasan seksual yang tidak dilaporkan atau ditangani dengan baik. Disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada April 2022, menumbuhkan harapan bagi para korban. Mereka berharap supaya kasus kekerasan seksual yang sebelumnya terhenti bisa diproses lebih lanjut.
Kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun dan di manapun, termasuk di lingkungan pendidikan. Salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tokoh motivator sekaligus pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Kota Batu, Jawa Timur. Terdakwa baru ditangkap setelah menjalani sidang sebanyak 19 kali. Kasus tersebut tentu menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat dan keraguan terhadap berjalannya hukum Indonesia.
Dr. Dhia Al Uyun, S.H., M.H. selaku dosen program magister kajian wanita (PMKW) Universitas Brawijaya memberikan tanggapannya mengenai kasus kekerasan seksual oleh Julianto Eka Saputra atau JE. Ia mengatakan, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh JE adalah real. Hanya saja, JE memiliki power dan kekuasaan sehingga membuat hukum tidak berpihak pada korban.
“Bagaimana bisa dikatakan bahwa itu tidak ada pembuktian, padahal jelas sekali korbannya ada. Kalaupun ternyata itu tidak benar terjadi, tidak mungkin kasus tersebut di-p21-kan (berkas perkara dianggap lengkap) hingga ke persidangan. Artinya, ini real bahwa yang dilakukan oleh JE adalah kekerasan seksual,” ungkap Dhia.
Dosen PMKW UB tersebut menyatakan, tidak boleh ada pemakluman untuk pelecehan atau kekerasan seksual. Ia mengatakan bahwa tindakan sesorang dianggap sebagai kekerasa seksual ketika itu memberikan ketidaknyamanan pada yang bersangkutan.
Dhia menjelaskan, setiap orang mempunyai otoritas terhadap tubuhnya baik itu perempuan maupun laki-laki. Ketika orang lain melakukan intervensi atau melakukan tindakan tertentu terhadap tubuh seseorang, harus ada persetujuan dan penghormatan dari yang bersangkutan. Jika tidak ada persetujuan dan menimbulkan ketidaknyamanan maka itu merupakan tindak pelecehan atau kekerasan seksual.
Sebagaimana yang kita ketahui, pendidikan di Indonesia belum semuanya memberikan pemahaman mengenai kekerasan seksual. Selain itu, respon masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual juga cenderung menyepelekan.
“Masyarakat kita kalau melihat korban berbicara soal kasus yang menimpanya, malah membiarkan itu terjadi, menganggap itu hal yang wajar, menganggap itu bentuk kasih sayang. Padahal menimbulkan ketidaknyamanan pada korban,” kata dosen PMKW UB tersebut.
Ia juga merasa miris melihat kekerasan seksual yang terjadi di instansi pendidikan seperti sekolah bahkan pesantren. Lingkungan pendidikan yang diharapkan dapat mengayomi para pelajar, justru seringkali meredam kasus kekerasan seksual yang terjadi.
“Atas nama baik kampus, nama baik pesantren, itu adalah pendekatan yang buruk untuk mendiamkan kekerasan seksual. Justru instansi yang baik adalah instansi yang menuntaskan kasus kekerasan seksual,” tutur Dhia.
Sampai sekarang, masih banyak korban kekerasan seksual yang tidak melapor. Dhia menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa korban tidak bisa melawan. Yang pertama adalah kondisi freeze, yaitu ketika otak korban tidak dapat menalar apa yang terjadi sehingga tubuh tidak langsung bereaksi. Kedua adalah otak korban mengalami shutting down, memori tidak terekam oleh otak karena tekanan yang dialami korban.
Alasan lainnya adalah adanya relasi kuasa. Sebagian masyarakat memiliki pemikiran bahwa korban tidak boleh melawan pelaku yang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Selain itu, masih banyak korban yang tidak mengetahui bahwa mereka mengalami kekerasan seksual, sampai mereka merasa kesakitan.
“Kita bisa menurunkan kasus kekerasan seksual ketika sudah tahu berapa jumlah kasusnya. Namun yang terjadi sekarang adalah, banyak instansi yang meredam kasus kekerasan seksual. Padahal di UU TPKS, tertulis jelas bahwa memediasi kasus kekerasan seksual adalah hal yang tidak diperbolehkan. Dalam arti lain, dilarang menyelesaikan hal tersebut di luar pengadilan,” jelas Dhia.
Menurutnya, UU TPKS adalah proses dan norma yang tepat untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Selain menyelesaikan perkara, UU TPKS juga menjamin adanya pemulihan bagi korban. Meski begitu, kasus KS melibatkan banyak pihak dan tidak semua pihak memiliki perspektif yang sama dalam menangani trauma korban.
Trauma yang ditimbulkan dari kekerasan seksual bisa berlangsung seumur hidup. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengingat dan menyimpan trauma sampai ia dewasa.
“Dengan tingkat traumatik yang seperti itu, dalam kasus JE, jaksa hanya menuntut hukuman 15 tahun penjara, itu tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan para korban. Apalagi korbannya tidak hanya satu, melainkan puluhan,” ujarnya. (nad)