Kanal24, Malang – Wacana kenaikan pajak rumah tapak yang dilontarkan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Fahri Hamzah, menuai sorotan tajam dari publik, khususnya dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik. Usulan ini disebut sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mendorong masyarakat beralih dari hunian horizontal menuju hunian vertikal seperti rumah susun (rusun), demi efisiensi ruang kota dan mendukung urbanisasi berkelanjutan.
Namun, kritik tajam datang dari Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Ia menilai bahwa pendekatan tersebut tidak adil dan berpotensi menyingkirkan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah yang selama ini berjuang untuk memiliki rumah tapak sebagai satu-satunya bentuk investasi dan warisan bagi anak-anak mereka.
Baca juga:
Escape Sale Berikan Diskon Menarik di Grand Mercure Malang Mirama
“Apakah efisiensi ruang boleh menyingkirkan mereka yang selama ini tinggal di pinggiran kota, menabung dengan susah payah untuk membeli rumah tapak sederhana, dan menjadikannya satu-satunya harta yang diwariskan?” kata Achmad dalam pernyataan yang dikutip dari Liputan6.com, Kamis (12/6/2025).
Penolakan Keras: Rumah Tapak Bukan Gaya Hidup
Achmad dengan tegas menolak anggapan bahwa tinggal di rumah tapak merupakan gaya hidup yang dipilih masyarakat secara sadar. Menurutnya, kondisi tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap hunian vertikal yang memadai, baik dari sisi harga maupun distribusi lokasi.
“Tambahan pajak khusus rumah tapak harus kita tolak! Seolah-olah masyarakat tinggal di rumah tapak karena pilihan gaya hidup, bukan karena keterbatasan akses dan ekonomi,” ujarnya.
Ia menilai bahwa kebijakan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial yang serius, karena masyarakat yang tidak mampu menjangkau rumah vertikal dapat terdorong ke arah permukiman tidak layak seperti kontrakan sempit, rumah petak, atau bahkan kawasan kumuh ilegal.
Risiko Memperluas Backlog Perumahan
Wacana ini dinilai berisiko memperparah masalah backlog atau kekurangan unit hunian di Indonesia yang saat ini masih cukup tinggi. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan pajak tambahan terhadap rumah tapak justru dikhawatirkan akan memperluas jurang kepemilikan rumah di kalangan masyarakat.
“Alih-alih menyelesaikan masalah backlog perumahan, kebijakan ini bisa memperluasnya,” tegas Achmad.
Keadilan Sosial Bukan Soal Tarif
Lebih jauh, Achmad mengingatkan bahwa konsep keadilan sosial dalam kebijakan perumahan seharusnya tidak semata-mata diukur melalui instrumen fiskal seperti pajak. Ia menegaskan bahwa empati dan keberpihakan terhadap masyarakat kecil adalah kunci dalam merumuskan kebijakan perumahan yang inklusif dan berkelanjutan.
Achmad menyarankan agar pajak sebaiknya diarahkan kepada pemilik banyak properti yang digunakan untuk spekulasi atau investasi pasif, bukan kepada masyarakat yang baru membeli rumah pertamanya untuk ditinggali.
Imbas ke Ekonomi Makro
Dari sisi makroekonomi, sektor perumahan memiliki keterkaitan erat dengan lebih dari seratus sektor lain seperti industri bahan bangunan, jasa konstruksi, transportasi, hingga jasa keuangan. Karena itu, kebijakan yang menurunkan permintaan terhadap rumah tapak dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan sektor riil dan menyumbang pada pelemahan ekonomi nasional.
“Ketika permintaan rumah tapak menurun karena pajak dinaikkan, maka penurunan itu akan berdampak luas ke sektor riil dan lapangan kerja,” jelas Achmad.
Baca juga:
Prestasi Muda Tennis Open 2025: Cetak Bibit Atlet Muda dan Penggerak Ekonomi Lokal
Solusi Alternatif: Skema Pembangunan Rusun yang Matang
Sebagai solusi, Achmad menyarankan agar pemerintah mengembangkan hunian vertikal secara terencana, tanpa mengorbankan pasar rumah tapak yang selama ini menjadi pilihan utama masyarakat. Skema subsidi, peningkatan akses terhadap kredit perumahan, serta pembangunan rumah susun yang layak huni dan terjangkau bisa menjadi langkah yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Dengan kritik-kritik yang semakin mengemuka, wacana ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang arah kebijakan perumahan nasional di tengah tantangan urbanisasi, keterjangkauan, dan ketimpangan kepemilikan properti yang masih tinggi. Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama dalam sektor fundamental seperti perumahan. (nid)