KANAL24, Malang – Konflik antara Israel dan Palestina menjadi perhatian dunia, tak terkecuali negara dengan penduduk muslim terbesar yakni Indonesia.
Menurut pakar komunikasi Universitas Brawijaya, Rachmat Kriyantono, Ph.D peristiwa ini menjadi momen untuk mengomunikasikan prinsip dasar filosofis bangsa Indonesia, yakni Pancasila khususnya sila 1,2, dan 5 serta pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa penjajahan termasuik Israel atas Palestina di atas bumi harus dihapus karena tidak sesuai perikemanusiaan dan keadilan.
“Presiden dengan tegas menuntut kemerdekaan Palestina dan mendorong OKI dan PBB membantu Palestina. Hingga kini, RI pun tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel,” imbuhnya.
Rachmat melanjutkan, komunikasi internasional RI merupakan cermin politik bebas dan aktif. “Bebas” bermakna tidak memihak ke blok negara-negara tertentu, melainkan memihak pada kemanusiaan dan keadilan. Sementara, “Aktif” berarti melalui jalur diplomasi dan bila diperlukan dengan militer.
Hal ini merupakan simbol Pemerintah RI untuk menghadapi “perang simbol/labelisasi” di dalam negeri, yakni melawan kelompok radikal. Pemerintah selama ini dilabeli “toghut, anti-Islam, anti-ulama, tidak membela Islam” dengan sikap positif terhadap Palestina maka secara tidak langsung label tersebut terbantahkan. Hal ini makin diperkuat dengan fakta bahwa konflik Palestina ini juga diframe sebagai Yahudi menindas Islam, maka pemerintah bisa dipersepsi “membela umat Islam”.
Padahal, yang dibela pemerintah adalah kemanusiaan dan keadilan suatu bangsa yg dijajah bangsa lain. Hanya saja, efek simbolik pembelaan kepada Palestina ini lebih dirasakan oleh massa mengambang. Tidak berdampak kepada massa yang sudah berada pada pihak oposisi dan yang terpapar radikalisme. (Meg)