Najwaa Zalfaa Haniifah*
Ketika mengetahui konferensi pers yang disampaikan oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) pada 22 Oktober 2025 tentang rencana pengiriman 500 ribu pekerja Indonesia di bidang pengelasan dan hospitality ke luar negeri, saya melihat kebijakan ini sebagai momen penting bagi masa depan tenaga kerja nasional. Keterbatasan lapangan kerja dalam negeri, banyak tenaga terampil belum memperoleh ruang untuk berkembang sesuai kemampuannya. Sementara itu, kebutuhan global terhadap pekerja profesional di sektor teknik dan jasa terus meningkat. Ketimpangan antara potensi sumber daya manusia dan peluang kerja tersebut menuntut langkah nyata agar pekerja Indonesia tidak hanya menunggu kesempatan, melainkan mampu menjemputnya di tingkat dunia.
MengikutiĀ arahanĀ PresidenĀ PrabowoĀ Subianto,Ā MenteriĀ PelindunganĀ PekerjaĀ Migran IndonesiaĀ MukhtarudinĀ mengumumkanĀ bahwaĀ pemerintahĀ akanĀ menyalurkanĀ sekitar Rp8Ā triliunĀ untukĀ mendukungĀ programĀ pengirimanĀ tenagaĀ kerjaĀ diĀ bidangĀ pengelasan dan hospitality ke berbagai negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, serta kawasan Timur Tengah. Langkah ini bukan sekadar ekspor tenaga kerja, tetapi bagian dari upaya memperluas peluang kerja dan meningkatkan kompetensi pekerja Indonesia agarĀ siapĀ bersaingĀ secaraĀ global.Ā MelaluiĀ pelatihan,Ā sertifikasi,Ā danĀ kerjaĀ samaĀ lintas negara,Ā programĀ iniĀ menjadiĀ sinyalĀ bahwaĀ pemerintahĀ seriusĀ membangunĀ SDMĀ yang berdaya saing internasional.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia masih berada di atas 5%, dengan sebagian besar berasal dari kelompok usia produktif 20ā35 tahun. Sementara itu, kebutuhan tenaga kerja terampil di luar negeri terus meningkat, terutama di sektor konstruksi, perhotelan, dan manufaktur. Kesempatan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menempatkan sumber daya manusianya di panggung global secara terencana dan bermartabat.
Menurut saya, kebijakan ini merupakan langkah strategis, dengan membuka akses ke pasar kerja internasional, para pekerja Indonesia tidak hanya memperoleh penghasilan yang lebih baik, tetapi juga pengalaman dan keterampilan global yang dapat meningkatkan daya saing mereka. Hal ini dapat mengurangi angka pengangguran, meningkatkan devisa melalui remitansi, serta memperkuat citra tenaga kerja Indonesia di dunia internasional. Kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan transfer of knowledge. Pekerja Indonesia yang pulang dari luar negeri membawa standar kerja dan etos profesional yang lebih tinggi, yang nantinya bisa diterapkan di dalam negeri. Selain menambah pemasukan negara melalui remitansi, kebijakan ini juga menjadi jalan untuk mempercepat peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia
Pengiriman tenaga kerja ini seharusnya tidak diartikan sebagai pelepasan tanggung jawab terhadap tingginya angka pengangguran di dalam negeri. Sebaliknya, kebijakan ini perlu dipandang sebagai investasi sumber daya manusia. Pengelolaan yang baik, tenaga kerja yang kembali ke tanah air bisa menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi melalui wirausaha, pelatihan, atau pembentukan komunitas profesional baru. Pemerintah dapat memanfaatkan pengalaman mereka untuk memperkuat sektor potensial seperti pariwisata, teknologi, dan manufaktur.
Langkah ini tetap perlu diiringi dengan peningkatan kualitas pelatihan dan perlindungan pekerja migran. Pengawasan yang ketat dan diplomasi ketenagakerjaan yang kuat antara Indonesia dan negara tujuan menjadi syarat mutlak agar program ini berjalan adil dan manusiawi. Agar kebijakan ini dapat bermanfaat, pelaksanaannya harus disertai perencanaan matang serta koordinasi lintas sektor. Pemerintah perlu menjamin seluruh tahapan berjalan transparan, mulai dari proses rekrutmen, pelatihan, hingga perlindungan hukum bagi para pekerja di luar negeri. Selain itu, reintegrasi bagi pekerja yang telah kembali juga perlu diperhatikan, sehingga ilmu dan pengalaman yang mereka peroleh bisa disalurkan untuk memperkuat industri di dalam negeri.
Keberhasilan program ini tidak hanya diukur dari jumlah tenaga kerja yang dikirim, tetapi dari seberapa besar peningkatan kualitas hidup dan kompetensi mereka setelah kembali ke tanah air. Jika dijalankan secara transparan, terukur, dan berorientasi pada peningkatan kemampuan, maka kebijakan ini dapat menjadi simbol nyata bahwa Indonesia mampu berpartisipasi aktif dalam ekonomi global tanpa kehilangan jati dirinya. Inilah langkah nyata menuju pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagaimana dicita-citakan dalam SDGs ke-8.
* Penulis adalah Mahasiswa FP UB










